Kumpeni VOC sebagai korporasi yang berkuasa seolah pemerintah dahulu pun ternyata berutang sangat banyak. Bahkan, nilainya terlampau besar dan melebihi hasil eksploitasinya di Indonesia. Salah satu sebab utamanya, karena pemborosan dan korupsi oleh oknum pengelola VOC.
VOC kemudian menjadi bangkrut, dan diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Utang piutangnya turut diwariskan kepada pemerintahan Hindia Belanda. Dan ketika Indonesia merdeka, Pemerintah Belanda berhasil memaksa pewarisan utangnya kepada pemerintah Indonesia.
Salah satu alasan utamanya semacam pembayaran karena sudah ada banyak aset. Diantaranya berupa berbagai bangunan, jalan, rel kereta api, Pelabuhan, dan infrastruktur pemerintahan. Sedangkan yang membangun dahulu adalah VOC dilanjutkan pemerintah Hindia Belanda.
Konperensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949 menyepakati adanya warisan utang sebesar 4,3 miliar gulden atau setara 1,13 miliar dolar Amerika kala itu. Soekarno terpaksa mengakui, namun semula tidak mau membayarnya. Selain alasan politik, memang pemerintah tidak punya uang. Untuk mengelola negara baru saja sudah pontang-panting kekurangan uang.
Soekarno dan beberapa pemerintahan era parlementer juga terpaksa berutang. Sebagai negara baru, perekonomian Indonesia justru terbebani kondisi sarana dan prasarana produksi yang mengalami kerusakan berat sebagai dampak selama masa perang (1945-1949). Birokrasi pemerintahan yang sebagiannya warisan penjajah, masih dalam proses pembenahan dan belum berjalan baik.
Sumber utang yang berasal dari dalam negeri tentu saja belum tersedia memadai. Mayoritas rakyat masih bersikutat dengan kemiskinan. Ada beberapa pengusaha kaya, namun belum mencapai level yang mampu mengutangi pemerintah dalam jumlah besar. Hibah dari negara-negara yang bersimpatik ketika awal kemerdekaan tidak mencukupi, dan lambat laun dihentikan.
Berutang dalam nilai yang cukup besar hanya dimungkinkan kepada pihak luar negeri. Uniknya, sikap Soekarno-Hatta terhadap utang luar negeri bisa dikatakan mendua.
Di satu sisi, mereka menyadari bahwa utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan sedang sangat dibutuhkan. Belum sampai pada ide dipakai agar negara menjadi negara kaya. Baru pada soal perlu dana untuk memperbaiki taraf kesejahteraan rakyat dan memperbaiki infrastrktur yang rusak karena perang. Padahal, rakyat yang hidupnya telah terpuruk karena kolonialisme berharap antusias kepada pemerintahan negara merdeka.
Di sisi lain, Soekarno-Hatta bersikap waspada terhadap kemungkinan penggunaan utang luar negeri sebagai sarana kembalinya kolonialisme. Semangat kemerdekaan masih amat kental, sehingga mereka peka dalam masalah yang berkaitan dengan kedaulatan Indonesia. Suasana ini juga mewarnai dinamika parlemen, sekalipun terdiri dari banyak partai dengan latar idelogis berbeda. Akibatnya, persyaratan yang ketat ditetapkan dalam setiap perundingan utang kepada pihak luar negeri.