Soekarno dan beberapa pemerintahan era parlementer juga terpaksa berutang. Sebagai negara baru, perekonomian Indonesia justru terbebani kondisi sarana dan prasarana produksi yang mengalami kerusakan berat sebagai dampak selama masa perang (1945-1949). Birokrasi pemerintahan yang sebagiannya warisan penjajah, masih dalam proses pembenahan dan belum berjalan baik.
Sumber utang yang berasal dari dalam negeri tentu saja belum tersedia memadai. Mayoritas rakyat masih bersikutat dengan kemiskinan. Ada beberapa pengusaha kaya, namun belum mencapai level yang mampu mengutangi pemerintah dalam jumlah besar. Hibah dari negara-negara yang bersimpatik ketika awal kemerdekaan tidak mencukupi, dan lambat laun dihentikan.
Berutang dalam nilai yang cukup besar hanya dimungkinkan kepada pihak luar negeri. Uniknya, sikap Soekarno-Hatta terhadap utang luar negeri bisa dikatakan mendua.
Di satu sisi, mereka menyadari bahwa utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan sedang sangat dibutuhkan. Belum sampai pada ide dipakai agar negara menjadi negara kaya. Baru pada soal perlu dana untuk memperbaiki taraf kesejahteraan rakyat dan memperbaiki infrastrktur yang rusak karena perang. Padahal, rakyat yang hidupnya telah terpuruk karena kolonialisme berharap antusias kepada pemerintahan negara merdeka.
Di sisi lain, Soekarno-Hatta bersikap waspada terhadap kemungkinan penggunaan utang luar negeri sebagai sarana kembalinya kolonialisme. Semangat kemerdekaan masih amat kental, sehingga mereka peka dalam masalah yang berkaitan dengan kedaulatan Indonesia. Suasana ini juga mewarnai dinamika parlemen, sekalipun terdiri dari banyak partai dengan latar idelogis berbeda. Akibatnya, persyaratan yang ketat ditetapkan dalam setiap perundingan utang kepada pihak luar negeri.
Bagaimanapun, transaksi berutang kepada pihak luar negeri akhirnya berlangsung juga. Sampai akhir tahun 1950-an, dilaporkan adanya arus utang baru sekitar USD 3,8 miliar. Setelah itu, terjadi fluktuasi posisi utang, seiring dengan sikap pemerintah yang cukup sering berubah terhadap pihak asing dalam soal modal dan utang. Tercermin pula dari separuh utang berasal dari negara-negara blok Timur kala itu. Sikap yang berubah-ubah itu antara lain dikarenakan kerapnya pergantian kabinet, disamping faktor Soekarno sebagai pribadi.
Secara teknis ekonomi, telah ada pelunasan utang dari sebagian hasil ekspor komoditi primer Indonesia. Ada pula penghapusan sebagian utang oleh kreditur, terutama dari negara-negara yang bersahabat, setidaknya dalam tahun-tahun tertentu.
Secara sederhana dapat dikatakan selama era Soekarno dan era pemeritahan parlementer, utang negara bersifat terpaksa. Kondisinya seolah “utang atau mati”.
Ketika terjadi perpindahan kekuasaan kepada Soeharto, diwariskan lah utang luar negeri sekitar 2,36 miliar dolar. [rif]