Bagaimanapun, transaksi berutang kepada pihak luar negeri akhirnya berlangsung juga. Sampai akhir tahun 1950-an, dilaporkan adanya arus utang baru sekitar USD 3,8 miliar. Setelah itu, terjadi fluktuasi posisi utang, seiring dengan sikap pemerintah yang cukup sering berubah terhadap pihak asing dalam soal modal dan utang. Tercermin pula dari separuh utang berasal dari negara-negara blok Timur kala itu. Sikap yang berubah-ubah itu antara lain dikarenakan kerapnya pergantian kabinet, disamping faktor Soekarno sebagai pribadi.
Secara teknis ekonomi, telah ada pelunasan utang dari sebagian hasil ekspor komoditi primer Indonesia. Ada pula penghapusan sebagian utang oleh kreditur, terutama dari negara-negara yang bersahabat, setidaknya dalam tahun-tahun tertentu.
Secara sederhana dapat dikatakan selama era Soekarno dan era pemeritahan parlementer, utang negara bersifat terpaksa. Kondisinya seolah “utang atau mati”.
Ketika terjadi perpindahan kekuasaan kepada Soeharto, diwariskan lah utang luar negeri sekitar 2,36 miliar dolar. [rif]