Scroll untuk baca artikel
Analisis Awalil Rizky

Dongeng Utang Indonesia (Bagian Tujuh)

Redaksi
×

Dongeng Utang Indonesia (Bagian Tujuh)

Sebarkan artikel ini

ERA pemerintahan Jokowi pertama mewarisi posisi utang sebesar Rp2.609 triliun pada akhir tahun 2014. Jika dinyatakan dalam denominasi dolar Amerika mencapai US$210 miliar. Posisi tertinggi dalam sejarah pemerintahan Indonesia.

Namun jika dinyatakan sebagai persentase terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sebesar 24,68%. Posisi terendah ketiga selama era reformasi.

Pemerintahan Jokowi awalnya menganggap rasio utang atas PDB itu pun masih terlampau tinggi dan berencana menurunkannya hingga akhir era pemerintahan pada tahun 2019.

Dengan kata lain, penambahan utang pemerintah akan lebih dikendalikan. Laju kenaikannya akan diupayakan lebih rendah dibanding pertumbuhan PDB tiap tahunnya.

Target RPJMN terkait pengelolaan utang tidak tercapai

Tekad demikian dinyatakan dalam dokumen resmi, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2014-2019. RPJMN tersebut ditetapkan melalui Perpres No.2/2015 tanggal 8 Januari 2015, sebagai dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahun. Dan merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Presiden hasil Pemilihan Umum tahun 2014.

Target rasio utang atas PDB dalam dokumen itu dinyatakan secara eksplisit dan sangat jelas. Yaitu:  2015 (26,7%), 2016 (23,3%), 2017 (22,3%), 2018 (21,1%), dan 2019 (19,3%). Dengan demikian, rasio utang atas PDB diharapkan kurang dari 20% pada akhir tahun 2019.

Rencana itu cukup masuk akal jika dikaitkan dengan target meningkatkan pendapatan negara serta menurunkan defisit anggaran pada waktu yang bersamaan. Penerimaan pajak sebagai komponen utama pendapatan akan digenjot habis hingga rasionya atas PDB mencapai 16% pada tahun 2019. Sedangkan defisit akan dikendalikan di kisaran 1% dari PDB.

Namun ternyata target tidak bisa dicapai. Laju tambahan utang lebih cepat dibanding laju kenaikan PDB pada tiap tahun selama satu periode pemerintahan. Pada tahun pertama saja, target tidak bisa dipenuhi, rasio justeru meningkat menjadi 27,45%. Alih-alih turun ke 19,3%, malah melesat menjadi 30,23% pada akhir tahun 2014.

Secara nominal, posisi utang pemerintah bertambah sebesar Rp2.178 triliun, menjadi Rp4.787 triliun pada akhir tahun 2014. Secara persentase, kenaikan posisi utang mencapai 83,5%. Jauh lebih tinggi dibanding era SBY pertama yang hanya meningkat 22,4%, dan era SBY kedua sebesar 64%.

Setelah berjalan beberapa tahun dan kondisi utang tidak sesuai target semula, beberapa penjelasan dikedepankan kepada publik. Ada dua kelompok argumen utama. Pertama, tambahan utang sangat dibutuhkan dan bersifat produktif. Kedua, kondisi dan bebannya masih aman serta terkendali.    

Dikatakan bahwa pemerintah mengambil kebijakan fiskal ekspansif dimana Belanja Negara lebih besar daripada Pendapatan Negara untuk mendorong perekonomian tetap tumbuh. Secara fakta, defisit memang terus membengkak secara nominal. Sedangkan secara rasio atas PDB tidak pernah memenuhi target RPJMN. Selalu di atas 2%, kecuali pada tahun 2018 yang sebesar 1,82%.

Secara teknis, penyebab utama berupa tidak tercapainya target pendapatan. Rasio pajak atas PDB justeru menurun. Bahkan masih tidak terpenuhi, setelah ukuran rasio yang dipakai diubah menjadi rasio perpajakan yang berarti lebih luas dari sekadar pajak dalam definisi semula.

Utang belum terbukti produktif dan tidak bisa dipastikan aman

Tentang utang yang produktif antara lain dijelaskan soalan ketertinggalan infrastruktur dan masalah konektivitas. Kondisinya menimbulkan tingginya biaya ekonomi yang harus ditanggung masyarakat hingga rendahnya daya saing nasional. Hal itu menjadi dasar pemerintah mengakselerasi pembangunan infrastruktur.