BARISAN.CO – Pembelajaran daring yang sudah berlangsung selama hampir dua tahun ini mengisyaratkan pentingnya menengok kembali dasar pendidikan kita. Hal tersebut disampaikan oleh Tenaga Ahli Kemendikbud-Ristek, Dr. Ahmad Suryadi Nomi, dalam webinar yang diselenggarakan oleh Forum Musyawarah Indonesia.
Menurut Dr. Suryadi, filosofi pendidikan yang pernah disampaikan Ki Hadjar Dewantara perlu dijadikan refleksi, bahwa, sejatinya setiap tempat adalah tempat belajar dan semua orang adalah guru. Maka, bukan hanya di sekolah, tetapi masyarakat dan keluarga pun mestinya dapat menjalankan fungsi pendidikan yang sama.
“Harus diakui ada ketimpangan dari ketiganya,” kata Dr. Suryadi, Kamis (7/10/2021).
Ketimpangan tersebut, sayangnya, baru dirasakan ketika pandemi COVID-19 merebak. Banyak orang tua merasa sekolah adalah satu-satunya tempat belajar. Banyak guru tidak mempersiapkan diri untuk menguasai teknologi. Banyak masyarakat juga tidak siap. Alhasil, pembelajaran jarak jauh menemui banyak kendala.
Sebelum COVID-19 merebak, lanjut Dr. Suryadi, sebetulnya pemerintah sudah jauh-jauh hari mengantisipasi akan adanya model pembelajaran digital yang bisa diikuti dari luar sekolah.
“Pemerintah, misalnya, secara teknis sudah mengonsep televisi edukasi dengan konten-konten pendidikan yang bisa diikuti dari rumah,” katanya.
Namun pandemi datang dan memaksa sektor pendidikan bergerak lebih jauh dari itu. Alhasil, dilihat dari segi infrastruktur teknologi dan informasi, sektor pendidikan tampak kewalahan menyelenggarakan pembelajaran digital.
Meski demikian, Dr. Suryadi menjelaskan, pada titik inilah sebetulnya ada kesempatan untuk mengoptimalkan konsep Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka yang diusung Menteri Nadiem Makarim.
Di sinilah menjadi penting untuk menyadari bahwa pendidikan bukan hanya sebatas pada kegiatan intrakurikuler. “Kita tidak bisa lagi menahan anak dari jam 7 pagi sampai jam 3 sore. Belajar itu bukan hanya di kelas, tetapi juga di luar kelas. Di sinilah urgensi konsep Merdeka Belajar,” katanya.
Dengan konsep Merdeka Belajar, kata Dr. Suryadi, terbuka peluang bagi siswa untuk mandiri mencari ilmu sesuai dengan apa yang menjadi minat mereka.
“Ke depannya, mesti pula ada transformasi dari pendidikan yang bersifat classical education menjadi personalized education,” ujarnya.
Dr. Suryadi mengatakan, masalah utama dari classical education adalah siswa kurang diberi kesempatan untuk mengasah bakatnya masing-masing. Siswa hanya diberi satu ukuran dan satu tujuan, yakni pintar secara akademik. Padahal tidak semua siswa cocok dengan ukuran intrakurikuler tersebut.
Maka, di samping kegiatan intrakurikuler, diperlukan saluran alternatif bagi anak untuk belajar mempersonalisasi dirinya.
“Di sinilah pentingnya mengoptimalkan kegiatan ekstrakurikuler yang dilaksanakan di luar jam pembelajaran. kegiatan-kegiatan di sana, pada gilirannya, diharapkan dapat berfungsi mencari, mengembangkan, dan menyalurkan talenta, minat, dan bakat dari masing-masing siswa,” papar Dr. Suryadi.
Namun hal itu bukan tanpa kendala. Menurut Dr. Suryadi, selama ini kegiatan ekstrakurikuler masih berorientasi pada pengembangan nonakademik dan terkesan hanya mengisi waktu luang.
“Untuk itulah perlu penguatan dan perluasan wilayah ekstrakurikuler secara komprehensif dan sistemik,” papar Dr. Suryadi.
Di samping merevitalisasi ekstrakurikuler untuk memanajemen talenta siswa, perlu ada juga asesmen nonkurikuler, yang berisi berbagai kegiatan dan interaksi sosial yang dilaksanakan berdasarkan peraturan dan pembiasaan keteladanan.