MBZ dituduh sebagai panglima tertinggi pasukan UEA yang menyediakan sarana serta perintah terhadap Perang Saudara di Yaman.
BARISAN.CO – Sejak tahun 2014, Perang Saudara pecah di Yaman ketika pemberontak Houthi mengambil alih ibu kota Yaman dan kota terbesar, Sana’a. Mereka menuntut harga bahan bakar diturunkan dan hadirnya pemerintahan yang baru.
Gagalnya negosiasi, membuat pemberontak itu merebut istana presiden pada Januari 2015. Presiden Yaman, Abd Rabbu Mansour Hadi dan seluruh jajarannya pun mengundurkan diri. Koalisi negara Teluk, yang dipimpin Arab Saudi dengan dukungan logistik dan intelijen AS menyerang pemberontak Houthi lewat udara.
September 2015, Abd Rabbu secara mendadak membatalkan pengunduran dirinya dan kembali ke Aden. Hingga kini, perang itu belum berakhir.
Pada tahun 2021, Houthi melancarkan serang ke Marib, benteng terakhir pemerintah di utara dan pusat provinsi yang kaya akan minyak. Saat itu, PBB menyebut, lebih dari 100.000 orang telah mengungsi dan dua juta warga sipil terancam akibat gencatan senjata.
Namun, menariknya, ada dugaan keterlibatan Presiden Uni Emirat Arab yang baru saja terpilih atas Perang Saudara di Yaman. Otoritas Perancis membuka penyelidikan terhadap Mohammed bin Zayed (MBZ) atas tuduhan keterlibatannya dalam perang yang telah berlangsung bertahun-tahun tersebut.
Di tahun 2020, berbagai sumber mengatakan kepada AFP, hakim invetigasi Prancis telah diberi mandat melakukan penyelidikan itu dan investigasi dibuka pada Oktober 2019. Dua laporan diajukan terhadap MBZ kala dia berkunjung ke Paris dalam kunjungan resmi pada tahun sebelumnya.
MBZ dianggap sebagai salah satu pemimpin paling berpengaruh di kawasan Timur Tengah dan juga memiliki hubungan erat dengan Presiden Prancis, Emmanuel Macron.
Enam warga Yaman mengajukan gugatan kepada seorang hakim Prancis. Pengacara penggugat, Joseph Breham kepada AFP mengatakan, kliennya menyambut baik dibukanya penyelidikan itu dan berharap besar mendapatkan keadilan.
Gugatan itu berfokus pada tuduhan penyiksaan yang dilakukan di pusat-pusat penahanan di bawah kendali UEA di wilayah Yaman. MBZ dituduh sebagai panglima tertinggi pasukan UEA yang menyediakan sarana serta perintah terhadap pelanggaran itu.
Tuduhan seperti ini dapat diadili di Prancis atas dasar yuridiksi universal, yang memungkinkan pengadilan mengambil kasus bahkan dugaan kejahatan yang terjadi di luar negaranya.
MBZ adalah penguasa de facto Abu Dhabi yang disebut-sebut menerapkan strategi khas di Yaman. Setelah pemberitaan negatif terkait kemunculan militer UEA di Yaman yang merusak citra negaranya, MBZ menarik sebagian besar militer UEA pada akhir 2019.
Namun, UEA tetap menduduki pelabuhan Balhaz untuk mencegah satu-satunya pabrik gas alam cair Yaman dibuka kembali. UEA juga mempertahankan kendali atas bandara Al Rayan Hadramaut sebagai penjara dan kompleks penyiksaan.
Bukan itu saja, UEA juga memberikan dukungan kepada Dewan Transisi Selatan (STC) sebagai investasi.
Secara agresif, UEA juga memperluas jaringan militernya dengan membangun pangkalan di Eritrea dan Libya, serta pulau Socotra Yaman dalam upayanya melampaui wilayah yang terbatas di Teluk Persia.
April lalu, Presiden Yaman diasingkan ketika upaya internasional dan regional untuk mengakhiri perang saudara itu dengan gencatan senjata selama dua bulan. Ini menjadi gencatan skala nasional pertama dalam beberapa tahun terakhir.
UEA pun menyambut baik gencatan senjata itu. Arab Saudi dan UEA menjanjikan Yaman bantuan sebesar US$3miliar.
Pada akhir 2021, PBB memperkirakan jumlah korban tewas akibat konflik di Yaman mencapai 377.000 jiwa, termasuk yang tewas sebagai akibat langsung atau pun tidak langsung. Dalam laporan yang diterbitkan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), 70 persen dari jumlah korban tewas itu adalah anak-anak di bawah usia lima tahun. Situasi di sana digambarkan PBB sebagai bencana kemanusiaan terburuk di dunia. Jutaan orang berjuang di ambang kelaparan dan setidaknya 15,6 juta jiwa hidup dalam kemiskinan ekstrem.