Di mana pun mereka berada, anak-anak yang tumbuh dalam kemiskinan menderita dari standard hidup yang buruk, mengembangkan lebih sedikit keterampilan untuk tenaga kerja, dan mendapatkan upah yang lebih rendah saat dewasa.
BARISAN.CO – Pandemi membalikkan kemajuan bertahun-tahun dalam perang melawan kemiskinan global dan ketidaksetaraan pendapatan, dan membahayakan masa depan generasi anak-anak.
Covid-19 mendorong tambahan 97 juta orang ke dalam kemiskinan ekstrem pada tahun 2020, menurut perkiraan Bank Dunia. Lebih dari setahun setelah pandemi, Bank Dunia menekankan, “masih banyak yang belum kita ketahui” mengenai dampaknya terhadap kemiskinan global pada tahun 2021.
Ketika keluarga keluar dari kemiskinan, kesehatan dan kesejahteraan anak-anak meningkat. Sejak tahun 1990, jumlah anak di bawah usia 5 tahun yang meninggal, sebagian besar penyebabnya sebenarnya dapat dicegah, seperti kemiskinan, kelaparan, dan penyakit.
Di seluruh dunia, sekitar 1 miliar anak mengalami kemiskinan multidimensi, artinya mereka kekurangan kebutuhan pokok seperti nutrisi atau air bersih. Sekitar 100 juta anak tambahan telah jatuh ke dalam kemiskinan multidimensi akibat COVID-19. UNICEF memperkirakan, 356 juta anak hidup dalam kemiskinan ekstrim.
Konsekuensinya sangat serius. Di seluruh dunia, anak-anak termiskin dua kali lebih mungkin meninggal di masa kanak-kanak daripada rekan-rekan mereka yang lebih kaya. Bagi mereka yang tumbuh dalam krisis kemanusiaan, risiko kekurangan dan eksklusi melonjak. Bahkan, di negara terkaya di dunia sekali pun, satu dari tujuh anak masih hidup dalam kemiskinan. Saat ini, satu dari empat anak di Uni Eropa berisiko jatuh miskin.
Di mana pun mereka berada, anak-anak yang tumbuh dalam kemiskinan menderita dari standar hidup yang buruk, mengembangkan lebih sedikit keterampilan untuk tenaga kerja, dan mendapatkan upah yang lebih rendah saat dewasa.
Namun, hanya sejumlah kecil pemerintah yang menetapkan penghapusan kemiskinan anak sebagai prioritas nasional.
Masalah Lain dari Anak yang Tumbuh dalam Kemiskinan
Mengutip PBS, Studi menunjukkan, anak-anak yang tumbuh miskin memiliki waktu yang lebih sulit untuk keluar dari kemiskinan saat dewasa. Misalnya, dalam satu studi tahun 2009 oleh National Center for Children in Poverty di Columbia University, para peneliti menemukan, anak-anak yang dibesarkan dalam keadaan miskin tidak hanya cenderung mengalami kemiskinan saat dewasa, tetapi kemungkinan menjadi miskin di masa dewasa juga meningkat. Jumlah tahun yang dihabiskan dalam kemiskinan sebagai seorang anak.
Menurut penelitian itu, sekitar lima persen orang dewasa yang tidak pernah mengalami kemiskinan saat anak-anak menjadi miskin pada usia 20 dan 25 tahun. Jika mereka miskin antara satu hingga tujuh tahun sebagai anak-anak, angka itu naik menjadi sekitar 13 persen. Bagi mereka yang menghabiskan delapan hingga 14 tahun dalam kemiskinan sebagai anak, 46 persen menjadi miskin pada usia 20 tahun dan 40 persen menjadi miskin pada usia 25 tahun.
Temuan serupa juga dilaporkan dalam kajian berjudul, “Effect of Growing up Poor on Labor Market Outcomes: Evidence From Indonesia”, yang diterbitkan Asian Development Bank (ADB) Institute pada September 2019 dan dilakukan oleh peneliti dari SMERU.
Kajian itu mempelajari dampak jangka panjang dari hidup dalam keluarga miskin memiliki pengaruh signifikan dan negatif pada pendapatan di masa dewasa.
Sementara, kajian terpisah ADB, International Food Policy Research Institute, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga menunjukkan, 22 juta orang Indonesia mengalami kelaparan dari tahun 2016-2018 selama masa jabatan pertama Presiden RI, Joko Widodo.
Para peneliti SMERU menyebut, efek langsung dari hidup sebagai seorang anak menjadi signifikan setelah mereka memperhitungkan sejumlah besar faktor.
Ditambahkan juga, para peneliti tidak menemukan bukti, menerima berbagai program transfer pemerintah memediasi efek tumbuh miskin pada pendapatan saat dewasa.
“Namun, pemerintah Indonesia telah menjalankan program yang bertujuan memutus mata rantai kemiskinan antar generasi yang disebut PKH (Program Keluarga Harapan). Apakah PKH memiliki manfaat jangka panjang merupakan bidang penelitian penting di masa depan,” tambahnya.
Salah satu faktor penyebab mengapa anak-anak miskin terus berjuang saat dewasa adalah pendidikan. Baik karena mereka tidak memiliki akses ke sekolah yang bagus, atau orang tua mereka tidak memiliki waktu atau sumber daya untuk membantu mereka, anak-anak yang tumbuh dalam kemiskinan sering kali memulai dari keadaan yang tidak menguntungkan yang dapat mempersulit pencapaiannya di kemudian hari.
Dalam laporan tahun 2017 dari Urban Institute, para peneliti menemukan, 62 persen anak-anak yang menghabiskan setidaknya separuh masa kecil mereka dalam kemiskinan melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pada usia 20 tahun. Sebagai perbandingan, angka itu adalah 90 persen bagi mereka yang tidak pernah mengalami kemiskinan.
Kesenjangan hanya melebar ketika datang ke perguruan tinggi. Sebuah laporan tahun 2015 dari Urban Institute menemukan, 23 persen anak-anak yang menghabiskan setidaknya separuh masa kecil mereka dalam kemiskinan mendaftar ke pendidikan menengah pada usia 25 tahun dibandingkan dengan 70 persen anak-anak yang tidak pernah miskin.
Sementara, sekitar 37 persen anak-anak yang tidak pernah miskin menyelesaikan kuliah pada usia 25 tahun, hanya 3 persen anak-anak dari latar belakang miskin mampu melakukan hal yang sama. Selain itu, studi itu mengungkapkan, kemiskinan berperan, bahkan ketika ras, jenis kelamin, pendidikan orang tua, dan faktor lainnya diperhitungkan.
Secara keseluruhan, Urban Institute menyimpulkan, hanya 16 persen anak-anak yang menghabiskan separuh masa kecil mereka dalam kemiskinan yang secara konsisten bekerja atau bersekolah dan sebagian besar keluar dari kemiskinan pada usia akhir 20-an.