Kegagalan pemerintah Jokowi dalam mencapai target pengentasan kemiskinan menunjukkan tantangan serius dalam kebijakan publik
BARISAN.CO – Rencana pembangunan yang ambisius, tingkat kemiskinan di Indonesia seharusnya menjadi salah satu indikator utama keberhasilan pemerintah. Namun, data terbaru dari Awalil Rizky, ekonom dari Bright Institute, menunjukkan bahwa target pengentasan kemiskinan yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) mengalami kegagalan signifikan. Proyeksi tingkat kemiskinan seharusnya menurun setiap tahun, namun realitas berbicara lain, Selasa (24/09/2024).
Saat awal pemerintahannya, Jokowi menargetkan tingkat kemiskinan sebesar 7,5% pada tahun 2019. Namun, saat tahun tersebut tiba, angka realisasi menunjukkan hasil yang mengecewakan, yakni mencapai 9,41%.
Dalam periode kedua pemerintahannya, target ini diubah menjadi 6,5% pada tahun 2024. Sayangnya, pandemi COVID-19 yang melanda dunia memperburuk situasi, dan realisasi tingkat kemiskinan hanya tercatat sebesar 9,03%.
“Setiap tahun, Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sering kali tidak mencapai target yang ditetapkan,” ungkap Awalil Rizky.
Sebagai contoh, dalam Nota Keuangan dan APBN 2024, ditetapkan target angka kemiskinan antara 6,5% hingga 7,5%, tetapi yang tercatat hanya 9,03%.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa meskipun terdapat penurunan tingkat kemiskinan pada era Jokowi, laju penurunan tersebut jauh lebih lambat dibandingkan periode sebelumnya.
Dalam periode kedua Jokowi, meskipun tingkat kemiskinan sedikit menurun sebesar 0,38 poin persentase, jumlah absolutnya justru bertambah sebanyak 80 ribu orang. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada pengurangan, masih banyak penduduk yang terjebak dalam kemiskinan.
Kemiskinan Ekstrem
Pada awal periode kedua, Jokowi menekankan pentingnya mengatasi kemiskinan ekstrem dengan menargetkan pengurangan kemiskinan ekstrem menjadi nol persen pada tahun 2024. Dalam rapat terbatas yang diadakan pada 4 Maret 2020, arahan tersebut menjadi agenda prioritas.
Namun, Bright Institute menilai bahwa penekanan pada kemiskinan ekstrem adalah indikasi kegagalan pencapaian target kemiskinan biasa pada periode pertama.
“RPJMN 2020-2024 pun tidak mencantumkan target kemiskinan ekstrem secara jelas,” ujar Awalil.
Penetapan RPJMN dilakukan pada bulan Januari, sementara arahan Jokowi baru disampaikan beberapa waktu setelahnya. Nota Keuangan dan APBN baru mencantumkan target kemiskinan ekstrem pada tahun 2024 dan 2025.
Dalam APBN 2024, target kemiskinan ekstrem ditetapkan antara 0-1%, dengan realisasi sebesar 0,83%.
Namun, ukuran atau standar kemiskinan ekstrem yang digunakan dianggap meragukan. Kajian Bright Institute menemukan adanya perbedaan dan perubahan ukuran dalam publikasi BPS.
Terdapat indikasi bahwa standar kemiskinan ekstrem yang digunakan tidak konsisten, seolah memaksakan angka agar memenuhi target Jokowi.
“Pada dasarnya, BPS dan Pemerintah tidak memiliki data yang akurat mengenai siapa, di mana, dan kondisi sebenarnya dari penduduk miskin dan miskin ekstrem,” jelas Awalil.
Data utama yang digunakan adalah survei, yaitu Susenas, dan informasi lain dari aparat desa tidak dimanfaatkan untuk data agregat nasional.
Kegagalan mencapai target pengentasan kemiskinan yang ditetapkan selama era Jokowi menunjukkan tantangan serius dalam pengelolaan kebijakan publik.
Dalam upaya untuk menciptakan program yang efektif, penting bagi pemerintah untuk memiliki data yang akurat dan transparan mengenai kondisi masyarakat miskin. Dengan demikian, langkah-langkah yang diambil untuk mengatasi kemiskinan dapat lebih tepat sasaran dan memberi dampak yang nyata bagi masyarakat. []