Scroll untuk baca artikel
Berita

Ekonom Bright Institute Bongkar Risiko Skema Rp200T Pemerintah

×

Ekonom Bright Institute Bongkar Risiko Skema Rp200T Pemerintah

Sebarkan artikel ini
Risiko Skema Rp200T
Ekonom Bright Institute, Yanuar Rizky

Ekonom Bright Institute, Yanuar Rizky, mengkritik kebijakan Menkeu Purbaya soal pengelolaan dana Rp200 triliun.

BARISAN.CO – Ekonom Bright Institute, Yanuar Rizky, menilai kebijakan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dalam mengelola dana Rp200 triliun berpotensi membebani sektor riil, Selasa (16/09/2025).

Menurutnya, langkah tersebut merupakan pengembangan dari ide lama Menkeu sebelumnya, Sri Mulyani Indrawati (SMI), yang pernah mengalihkan dana sebesar Rp16 triliun melalui program Kopdes Merah Putih, MBG, dan perumahan.

Dalam skema lama, bunga kredit diturunkan lewat burden sharing atau subsidi bunga yang dibagi antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI).

BI kala itu menyerap Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder senilai Rp200 triliun untuk menjaga likuiditas.

Namun, kata Yanuar, Menkeu Purbaya kini memperbesar skema itu menjadi Rp200 triliun. Ia meminta agar dana tidak disalurkan ke SBN, melainkan diarahkan ke kredit sektor riil, termasuk koperasi desa (Kopdes), dengan bunga yang lebih rendah.

“Menkeu meminta bunga 4 persen di atas bunga deposito komersial bank. Kalau ditambah biaya operasional bank sekitar 2 persen, maka total biaya dana mencapai 6 persen. Pertanyaannya, sektor riil mana yang mampu membayar bunga kredit setinggi itu?” ujar Yanuar.

Yanuar juga menyoroti risiko kebijakan yang bersifat populis. Ia menjelaskan, meski Menkeu Purbaya berjanji bunga kredit bisa ditekan hingga 2 persen untuk program Kopdes, pada praktiknya bank tetap terbebani karena dana Rp200 triliun tersebut sewaktu-waktu bisa ditarik kembali pemerintah.

“Konon jurus ini membuat direksi bank pusing, meskipun dihiasi kalkulasi populis yang indah didengar. Pada akhirnya, bunga kredit tidak serta-merta bisa turun begitu saja,” jelasnya.

Yanuar menilai, pada dasarnya kebijakan ini tidak jauh berbeda dengan pola lama yang diterapkan Sri Mulyani. Bedanya, nilai dana yang dikelola kini melonjak dari Rp16 triliun menjadi Rp200 triliun.

“Sesimpel itu, tapi dibawa ke mana-mana,” pungkas Yanuar. []