Sejak 2005, kecenderungan terjadinya SiLPA membuat saldo SAL terus bertambah. Data mencatat, posisi SAL per 31 Desember 2024 mencapai Rp457,54 triliun.
Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan Rp86,14 triliun pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo tahun 2014.
Bahkan, pada 2020, SiLPA mencetak rekor Rp245,6 triliun. Akumulasi inilah yang kini menjadi andalan pemerintah dalam menjalankan kebijakan fiskal fleksibel, termasuk pemindahan Rp200 triliun ke bank Himbara.
Penggunaan SAL sebelumnya diatur cukup ketat. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 206 Tahun 2010, SAL hanya diutamakan untuk menutup defisit APBN.
Namun, aturan tersebut kemudian direvisi melalui PMK 203/2013 dan terakhir PMK 147/2021, yang memperluas penggunaan SAL untuk pemenuhan kebutuhan kas temporer, pembiayaan anggaran, hingga stabilisasi perekonomian.
Perubahan regulasi ini memberi ruang lebih luas bagi pemerintah untuk memanfaatkan SAL sebagai instrumen kebijakan fiskal.
Langkah Purbaya semakin menegaskan arah baru itu. Apalagi setelah keluarnya PMK Nomor 88 Tahun 2024 yang memungkinkan SAL dipinjamkan kepada BUMN, BUMD, pemerintah daerah, dan badan hukum lainnya.
Dengan kebijakan terbaru, pemindahan dana Rp200 triliun ke bank Himbara menjadi bukti nyata pemanfaatan SAL sebagai sumber likuiditas strategis di sektor keuangan nasional.
Kesiapan Bank Himbara
Enam bank Himbara yang mendapat penempatan dana pemerintah menyambut positif kebijakan ini. Mereka menilai dana tersebut akan memperkuat posisi likuiditas sekaligus memperluas kemampuan menyalurkan pembiayaan ke sektor-sektor prioritas.
Bank Mandiri, misalnya, menyatakan siap mendukung program ini dengan fokus pada kredit produktif di bidang manufaktur, pertanian, dan infrastruktur.
Hal serupa juga disampaikan BRI yang berencana mengarahkan sebagian dana untuk pembiayaan UMKM.
Pemerintah memastikan bahwa penempatan dana disertai dengan mekanisme pengawasan ketat. Besaran alokasi per bank, tenor, serta sektor prioritas akan diatur melalui keputusan Menteri Keuangan.
Dengan begitu, dana tidak hanya memperkuat neraca perbankan, tetapi juga memberi dampak langsung pada pertumbuhan ekonomi riil.
Manfaat utama dari kebijakan ini adalah meningkatnya likuiditas sistem perbankan. Dengan tambahan Rp200 triliun, bank-bank Himbara memiliki ruang lebih besar untuk menyalurkan kredit.
Hal ini diharapkan bisa menjadi motor pemulihan ekonomi, terutama setelah pertumbuhan melambat akibat tekanan global.
Dana tersebut juga dipandang sebagai stimulus non-anggaran tambahan di luar belanja pemerintah yang tercatat dalam APBN.









