Konsumsi Pemerintah pada triwulan I-2022 memberi kontribusi minus 0,47% sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Sumbangannya pada triwulan yang sama tahun-tahun sebelumnya antara lain: 2017 (0,16%), 2018 (0,16%), 2019 (0,31%), 2020 (0,22%), dan 2021 (0,15%).
Rilis Bank Indonesia menyebut alasan hal itu sejalan dengan membaiknya kondisi pandemi Covid-19 yang berdampak pada menurunnya belanja barang dan bantuan sosial khususnya untuk penanganan Covid-19 dan mitigasi dampaknya terhadap masyarakat.
Argumen Bank Indonesia itu seolah ingin mengatakan ada baseline yang tinggi pada triwulan yang sama pada tahun sebelumnya. Namun, berdasar data pertumbuhan konsumsi pemerintah di atas, hal itu tidak tepat. Konsumsi pemerintah memang tetap tumbuh pada tahun 2020 dan 2021, namun tidak lah melonjak pesat.
Nilai konsumsi pemerintah atas dasar harga konstan triwulan I-2022 hanya sebesar Rp150,98 triliun. Lebih rendah dari triwulan I-2019 atau sebelum pandemi yang mencapai Rp153,75 triliun.
Komponen pengeluaran utama lainnya yaitu investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) memang menunjukkan kinerja yang membaik. PMTB tumbuh sebesar 4,09% (y-on-y) pada triwulan I-2022. Triwulan yang sama tahun sebelumnya kontraksi sebesar 0,21%. Akan tetapi, lajunya juga belum kembali seperti sebelum era pandemi.
Dari uraian di atas ditambah dengan informasi lainya yang disajikan oleh publikasi BPS tentang PDB dan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2022, penulis menilai otoritas ekonomi agak berlebihan mensikapinya. Kinerja perekonomian memang membaik, namun masih jauh untuk dikatakan pulih.
Berdasar data BPS tentang perkembangan PDB dan pertumbuhan ekonomi selama 6 tahun terakhir, maka risiko besar masih menghadang. Penulis memprakirakan, selama setahun 2022 pertumbuhan ekonomi maksimal hanya tumbuh sebesar 5,0%. Kemungkinan akan sedikit di bawah itu. [rif]