Scroll untuk baca artikel
Ekonomi

Ekonomi Syariah Terbukti Lebih Kuat, Kemenkeu Gratiskan Tarif Sertifikat Halal, Ini Syaratnya

Redaksi
×

Ekonomi Syariah Terbukti Lebih Kuat, Kemenkeu Gratiskan Tarif Sertifikat Halal, Ini Syaratnya

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Ekonomi keuangan syariah memiliki daya tahan yang lebih kuat dibandingkan ekonomi nasional pada saat pandemi Covid-19 memukul sendi-sendi perekonomian negara.

Untuk mendorong pertumbuhan pangsa pasar dan peranan ekonomi syariah dalam perekonomian Indonesia, Kementerian Keuangan bakal membebaskan tarif kepada pelaku usaha kecil menengah (UKM) untuk mendapat sertifikasi halal.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kebijakan itu sejalan dengan komitmen Indonesia menjadi pusat produk halal dunia.

Sri Mulyani menyebut, selain menetapkan tarif sebesar Rp0 untuk usaha kecil menengah, Kemenkeu juga memberikan dukungan dari sisi APBN, sehingga sertifikasinya dapat berjalan secara konsisten dan kredibel.

“Pengembangan produk halal, usaha kecil menengah tidak dibebani tarif untuk mendapatkan sertifikasi halal. Ini tentu ada konsekuensi dari sisi anggaran, yaitu APBN untuk mendukung BLU Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal sehingga mereka bisa membimbing dan melaksanakan self declare dari produk halal di level UMKM dengan tarif level Rp0,” katanya dalam konferensi pers, Selasa (30/11/2021).

Dia mengatakan, kebijakan tersebut sejalan dengan Permenkeu No. 57 Tahun 2021 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum BPJPH pada Kementerian Agama.

Cara Mendapatkan Sertifikat Halal

Pemerintah telah menetapkan 5 syarat bagi UMKM untuk bisa mengikuti program sertifikat halal ini, yaitu:

1. Usaha Produktif dan Kekayaan Bersih Kurang dari Rp10 Miliar.

UMKM yang mengajukan sertifikat halal gratis harus mempunyai usaha produktif. Kebijakan ini tidak berlaku bagi pelaku UMKM yang usahanya tengah macet atau bahkan bangkrut.

Pemerintah telah menetapkan definisi UMKM berdasarkan nilai kekayaan bersihnya dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Di situ, pemerintah melakukan klasifikasi usaha berdasarkan kekayaan bersihnya sebagai berikut:

  1. Usaha Mikro. Pelaku usaha yang termasuk dalam kategori usaha mikro mempunyai kekayaan bersih maksimal sebesar Rp50 juta, tidak mencakup harta berupa tanah dan bangunan usaha. Selain itu, mereka memiliki omzet tahunan maksimal Rp300 juta.
  2. Usaha Kecil. Kategori usaha kecil adalah pelaku usaha yang mempunyai kekayaan bersih antara Rp50 juta sampai Rp500 juta. Nilai kekayaan itu tidak termasuk tanah serta bangunan usaha. Sementara itu, kalau dilihat dari aspek omzet, usaha kecil memiliki hasil penjualan tahunan berkisar antara Rp300 juta sampai Rp2,5 miliar.
  3. Usaha Menengah. Pelaku usaha yang termasuk dalam kategori usaha menengah adalah mereka yang memiliki kekayaan bersih antara Rp500 juta hingga Rp10 miliar, belum termasuk tanah serta bangunan usaha. Selain itu, usaha menengah punya omzet tahunan pada angka mulai dari Rp2,5 miliar hingga Rp50 miliar.

Syarat selanjutnya adalah kehalalan produk serta bahan yang digunakan. Pelaku UMKM perlu memastikan kalau bahan-bahan yang mereka manfaatkan untuk proses produksi terjamin kehalalannya atau mempunyai sertifikat halal.

2. Penggunaan Produk dan Bahan Halal

Dalam aspek ini, pelaku UMKM bisa melakukan pemilihan bahan dengan cermat. Salah satu caranya adalah dengan memperhatikan label halal saat belanja bahan-bahan untuk produksi. Sebagai tambahan, pelaku UMKM juga perlu memperhatikan proses produksi sehingga barang yang dihasilkan tingkat kehalalannya.

3. Kriteria Kehalalan.

Faktor selanjutnya adalah kriteria kehalalan. Pelaku UMKM harus memiliki jaminan atas kehalalan produk yang dibuatnya. Jaminan itu berlaku secara menyeluruh, mulai dari proses belanja bahan, pengolahan, cara penyimpanan, proses pengemasan, distribusi, pemasaran, sampai penyajian produk.

Oleh karena itu, pelaku UMKM harus memastikan kalau bahan-bahan yang mereka manfaatkan dalam proses produksi tidak bercampur dengan najis atau barang haram. Sebagai solusinya, pelaku UMKM perlu menyediakan lokasi serta peralatan yang terpisah.

4. Pendampingan Proses Produksi Halal (PPH)

PP Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal menyebutkan tentang adanya pendampingan proses produksi halal untuk UMKM. Pendampingan dapat dilaksanakan oleh organisasi kemasyarakatan atau lembaga keagamaan Islam. Mereka bisa berupa lembaga yang memiliki badan hukum atau perguruan tinggi.

Upaya pendampingan merupakan sarana untuk memastikan kalau UMKM sudah menerapkan standar operasional yang halal. Dalam praktiknya, proses pendampingan tersebut bisa melibatkan organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, ataupun pondok pesantren dan perguruan tinggi.

5. Mempunyai Nomor Induk Berusaha (NIB)

Terakhir, pelaku UMKM perlu mempunyai Nomor Induk Berusaha (NIB) untuk bisa memperoleh sertifikat halal gratis dari pemerintah. Dalam praktiknya, pemerintah menggunakan sertifikat halal sebagai bagian terintegrasi dari platform One Single Submission (OSS).