Scroll untuk baca artikel
Khazanah

Eksistensi dan Peran Ulama Di Era Disrupsi (Bagian 1)

Redaksi
×

Eksistensi dan Peran Ulama Di Era Disrupsi (Bagian 1)

Sebarkan artikel ini

ISTILAH  ‘disrupsi’ awalnya  dikenal di dalam dunia teknologi. Terminologi ini mendeskripsikan sebuah era di mana “teknologi dan masyarakat berkembang lebih cepat daripada yang dapat diadaptasi oleh bisnis secara alami.” Platform digital memengaruhi berbagai interaksi, komunikasi, birokrasi, dan berbagai macam transaksi. Hingga pemerintahpun memutuskan mengeluarkan undang-undang terkait transaksi elektronik dan informadi digital.

Secara bahasa, disrupsi (disruption) berarti sesuatu yang  tercabut dari akarnya. Jika diartikan dalam kehidupan sehari-hari, disrupsi adalah sedang terjadi perubahan yang fundamental atau mendasar. Sesuatu yang baru datang dan mengubah cara kita bekerja, berpikir, hidup atau bermain. Tidak ada yang sama lagi, dan jalan baru dalam berbagai aktifitas kehidupan modern juga mengalami perubahan.

Ponsel pintar dan teknologi seluler adalah contoh terbaru dari  disrupsi dalam hal teknologi. Tetapi akhir-akhir ini, kita telah mendengar istilah “disruption” diterapkan bukan hanya pada teknologi, tetapi pada kegiatan  berbisnis, juga pada kegiatan yang lain.

Di antara yang menarik untuk kita pahami ialah disrupsi dalam  pemahaman agama, konteksnya kini tentang eksistensi penyeru ajaran agama, para pendakwah, yang di masyarakat umum dikenal dengan sebutan “ulama”, mengambil dari arti kata ‘orang yang memiliki ilmu, bentuk jamak dari kata ‘alim’. Seperti apa disrupsi memasuki koridor kehidupan keberagamaan dan aktifitas dakwah?

Ajaran Tuhan yang tertuang dalam kitab suci dipahami sebagai doktrin, lalu sebagai penjelas doktrin tersebut diutuslah para nabi dan rasul. Al Quran sebagai wahyu Allah, doktrin di dalamnya diperjelas oleh utusan Allah yang terakhir yaitu Nabi Muhammad SAW. Lalu kita kenal setelah itu dengan istilah hadits atau sunnah.

Kemudian, dalam perkembangannya agama Islam dipahami dari berbagai sudut, yaitu sebagai doktrin, sebuah pemikiran, dan realitas sosisal.  Sebagai doktrin, Islam merupakan wahyu Allah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad Saw.

Ajaran dasarnya tertuang di dalam kitab suci Al-Quran dan Sunnah Nabi Muham­mad Saw. Kedua ajaran dasar ini kemudian dipahami oleh para ulama melalui pengembangan nalar dan pemikiran mereka. Inilah yang kemudian melahirkan pemikiran Islam yang meliputi segenap aspek ajaran doktrin Al-Quran dan Sunnah tersebut.

Dari situ kemudian  lahir keilmuan tentang tafsir, hukum Islam (fiqh), tasawuf, filsafat, teologi, pendidikan, ekonomi dan lain-lain. Sebagai pemikiran, tentu saja pendapat para ahli di dalamnya sangat beragam.

Mereka menafsirkan dan memahami doktrin atau ajaran dasar Islam sangat dipengaruhi oleh situasi, kondisi dan lingkungan sosial, tingkat kecerdasan dan kecenderungan pribadi. Dari pemikiran terhadap ajaran dasar Islam ini kemudian lahirlah peradaban yang merupakan realitas sosial masyarakat pada masanya.

Konsep doktrin dan pemikiran agama.

Ada beberapa perbedaan mendasar antara doktrin dan pemikiran ini. Pertama, doktrin bersifat ajaran dasar, sedangkan pemikiran bersifat penafsiran ulama terhadap ajaran dasar.

Kedua, doktrin bersumber dari Allah SWT. dan NabiNya Muhammad SAW., sedangkan pemikiran bersumber dari ulama.

Ketiga, doktrin bersifat baku, mutlak tidak mengalami perubahan dan berlaku universal untuk setiap masa dan tempat, sedangkan pemikiran sangat bersifat relatif, temporal dan lokal, tergantung pada situasi, kondisi dan keadaan lingkungan yang melingkupinya.

Ulama, tentunya dalam sejarah pemikiran Islam, adalah orang-orang yang menekuni ajaran agama Islam, sebagai doktrin dan memahami ajaran-ajaran yang telah dijelaskan oleh nabi, kemudian dipahami oleh para sahabat, oleh tabi’in dan tabi’it tabi’in dan seterusnya, mengalami berbagai dinamika perubahan berdasarkan konteks dan kondisi di zamannya masing-masing.