ANTARA agama dan komunisme kalau disandingkan seperti bumi dan langit atau seperti siang dan malam. Kontras. Bertolak belakang.
Komunisme itu ateis alias tidak mengimani Tuhan. Bagi penganut komunis berlaku paham Tuhan itu tidak ada kalau ia (seseorang) berpikir tidak ada.
Tentu saja paham komunis ini berbeda sangat mendasar dengan dogma agama yang sangat memercayai dan mengesakan Tuhan. Oleh karena itu, mustahil sebuah pergerakan dapat dihuni oleh dua ideologi.
Ini dibuktikan dengan hengkangnya Semaun, Alimin, dan Darsono dari Sarekat Islam (SI).
Tetapi, uniknya, perbedaan dogmatis itu ternyata tak menghalangi para ulama di Banten untuk bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Mereka kemudian memberontak terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada 1926. Pemberontakan sejenis juga serempak terjadi di Bandung, Padang Panjang, dan Kediri. Namun, penggerak pemberontakan di luar Banten dilakukan orang-orang pergerakan atau sekuler, bukan oleh ulama.
Persekutuan yang unik antara ulama Banten dan PKI saat itu direkatkan adanya musuh bersama. Kedua kelompok ini menganggap Pemerintahan Hindia Belanda adalah musuh bersama yang harus dienyahkan.
Kesamaan tujuan ini menyebabkan kedua elemen bangsa yang berbeda ideologi itu selanjutnya bersimbiosa. Tetapi, secara spesifik ada beberapa hal yang menyebabkan ulama berkongsi dengan PKI.
Pertama, Belanda adalah kafir. Sebutan ini berkembang terutama di kalangan masyarakat Islam yang fanatik, termasuk pada sebagian para ulama. Orang-orang yang berada di luar agama Islam dianggap kafir sehingga “wajib” diperangi.
Kedua, dakwah ulama dibatasi. Pembatasan ini menyebabkan resistensi dari para ulama. Mereka gelisah karena materi dakwah dibatasi atau disensor. Mereka dilarang berbicara tentang jihad dan perjuangan revolusioner Nabi Muhammad.
Padahal, bagi umat Islam tentu saja istilah jihad dan perjuangan Nabi adalah bagian yang tak terpisahkan dari risalah dan biografi Nabi sebab sepanjang hayat Muhammad adalah perjuangan yang tak pernah henti.
Namun, sepertinya bagi pemerintah kolonial istilah jihad dan perjuangan revolusioner dinilai berbahaya bagi kelangsungan pemerintahan. Termasuk hingga kini, istilah jihad di kalangan Barat dianggap identik dengan kekerasan atas nama agama Islam.
Ketiga, akses politik ulama dibatasi. Ketidakadilan ini tentu saja membuat para ulama merasa teralienasi dan termarginalkan. Ini berbeda dengan bangsa Indonesia dari kalangan agama lain yang memiliki akses yang mudah untuk berpolitik atau masuk birokrasi.
Nah, ketika PKI menempatkan para ulama dalam posisi strategis, para ulama merasa dihormati dan mendapat tempat.
Keempat, ulama kecewa kepada Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kedua organisasi masa ini dinilai para ulama Banten terlalu lembek yang ditunjukan dengan lebih memilih berkompromi (kooperatif) dengan pemerintah Belanda.
Kekecewaan para ulama ini oleh tokoh-tokoh PKI dijadikan alat untuk kepentingan perjuangan mereka, khususnya untuk menggalang massa. Para agen propaganda PKI — seperti Puradisastra asal Banjar dulu masuk Kab. Ciamis — menyatakan para ulama tidak akan bebas beraktivitas selagi kaum kafir masih bercokol di Indonesia.
Sebaliknya, bila komunis “sang pembela rakyat” berjaya, umat Islam akan dibebaskan. Bahkan, untuk memperkuat propaganda mereka, tokoh PKI yang berlatar agama kuat seperti Achmad Bassaif dan Hasanuddin selalu menyitir firman Allah untuk mendukung propagandanya.
Selain itu, untuk memperkuat argumennya, para tokoh ini juga dalam tablignya selalu mengaitkan perjuangan revolusioner PKI dengan merujuk peristiwa-peristiwa perjuangan heroik di negara-negara Islam, misalnya perjuangan rakyat Maroko di bawah Abdul Karim melawan pemerintah Spanyol dan Prancis.