Scroll untuk baca artikel
Blog

Esai tentang Esai

Redaksi
×

Esai tentang Esai

Sebarkan artikel ini

Namun, menurut Alif, meski awalnya orang Indonesia menerima kata ‘esai’ ini sebagai bentuk tulisan kritikal terhadap karya-karya sastra, perkembangan berikutnya, ‘esai’ merambah ke berbagai jenis pengetahuan, yang dibahas secara kritikal, dalam sebuah tulisan analitis, spekulatif, dan interpretatif, menyangkut masalahnya yang aktual dan faktual. Sebagai tulisan kritikal, yaitu opini pribadi, yang memposisikan diri pada pertimbangan-pertimbangan objektif, esai memberikan pengetahuan populer yang dibutuhkan pembaca. Dengan begitu, esai adalah bentuk langsung dari sebuah opini.

Biar pahaman kita akan esai makin menukik, saya ajak ke alam pikiran seorang penulis produktif, Muhiidin M. Dahlan. Pada buku Inilah Esai, Muhiddin membentangkan sajadah pemahaman, bahwa Michel de Montaigne (1533-1592) yang menerbitkan edisi pertama esainya pada paruh abad 15, berjudul: “Of the Vanity of Words”, Montaigne memberikan batasan esai sebagai “percobaan”. Dari sinilah, seorang filsuf, Aldous Huxley, mengajukan pernyataan, hendak mengomentari segala hal dan tentang apa saja. Cuilan, kata Bandung Mawardi.

Lebih kongkrit Muhiddin bilang, meminjam penabalan Montaigne, esai adalah cerminan, meditasi, percobaan dalam pengungkapan gagasan yang diekspresikan dengan bahasa yang “lentur”. Sesuatu yang sifatnya longgar, tutur esais kondang, Emha Ainun Najib. Jadi, esai itu bukan karya sastra, bukan pula karya ilmiah. Zen RS mengunci dengan ungkapan,”esai di antara puisi di pojok paling kiri dan karya ilmiah di sudut paling kanan”.

Pastinya, Emha bersabda di CAKNUN.COM,”Esai itu bukan puisi. Akan tetapi esai tidak diperkenankan hadir tanpa rasa poetika. Esai bukan cerita pendek, bukan novel, bukan reportoar teater, namun esai diharuskan bercerita, diwajibkan mengekspresian suasana, itupun cerita dan suasana harus merupakan kandungan yang implisit, yang tersirat, yang samar, sebab kalau tidak: ia dituduh sebagai puisi atau cerita pendek atau novel atau reportoar teater. Demikian pun esei tidak boleh mengelak dari tanggung jawab ilmu dan pemetaan akademik, tetapi kalau esei terlalu terpaku pada hal-hal tersebut: ia akan dituduh sebagai artikel ilmiah dan dibatalkan kehadirannya sebagai esei”.

Ah, rasanya saya kunci saja pembatasan makna esai dengan menukil Ignas Kleden, dalam bukunya, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, pada bab 21, Esai: Godaan Subjektivitas.

Ignas menulis, “Dengan membaca sajak kita dapat terserap ke dalam suasana puitis, dan dengan membaca karya ilmiah kita berkutat dengan analisis tentang suatu obyek penelitian. Dalam dua kegiatan itu sang penyair dan sang ilmuwan menjadi tidak penting, karena yang pokok adalah karyanya. Membaca esai, sebaliknya, cenderung membuat kita teringat pada penulisnya, karena gerak-gerik, mimik, dan gestikulasi, demikian pun kegembiraan dan rasa jengkel akan muncul dalam kalimat-kalimatnya. Membaca tulisan ilmiah dan membaca sajak pada dasarnya berarti menghadapi teks, sedangkan membaca esai adalah menghadapi teks sekaligus juga berhadapan dengan penulisnya. Ilmu mengubah subjektivitas menjadi objektivitas, puisi mengubah objektivitas menjadi subjektivitas, tetapi esai menghormati kedua-duanya, menghadapi objektvitas sambil mengubah subjektivitas”.