Scroll untuk baca artikel
Opini

Esai tentang Esai

Redaksi
×

Esai tentang Esai

Sebarkan artikel ini
Oleh: Sulhan Yusuf

“Esai bentuk langsung dari opini.” — Remy Sylado

(2017) Sekira empat tahun belakangan ini, kota Makassar, kota mukim saya dilanda gempa-gempa literasi, yang skalanya masih terukur. Getarannya, sekadar mencubit rutinitas kota, yang konon menurut walikotanya, Dani Pamanto, sang anak lorong, segera berbenah menjadi kota dunia.

Sesarinya, yang saya tunggu adalah, tsunami literasi, yang dalam perspektif gerakan, bagaimana memelihara gempa-gempa itu, berakumulasi menjadi tsunami. Gempa-gempa literasi itu, dipicu oleh beberapa lempengan komunitas literasi, yang secara telaten menggetar-getarkan kota Makassar. Banyak nian komunitas literasi di kota ini, lebih dari sepuluh jari tangan saya, ditambah sepuluh jari kaki saya, masih lebih dari itu jumlahnya.

Salah satu komunitas literasi itu, bernaung di bawah payung Paradigma Institute, yang menyelenggarakan kelas literasi, tepatnya kelas menulis. Tahun 2017 ini, sudah memasuki angkatan ke-3. Capaian dari kelas menulis ini, sudah bisa diverifikasi hasilnya, berupa lahirnya penulis-penulis jebolan kelas, yang menulis di media luring, maupun daring.

Pun, ada juga yang telah menulis buku, baik fiksi maupun non-fiksi. Dan, pada perhelatan angkatan ke-3, yang memasuki pekan ke-7, Ahad, 02 April 2017, sebelum memasuki masa praktek, peserta kelas disuguhi terlebih dahulu wawasan seputar kepenulisan, salah satunya esai.

Masalahnya kemudian, tatkala para pengelola kelas mendapuk saya, untuk menjadi pemantik perbincangan teknik menulis esai.

Seintinya, di kota Makassar amat banyak penulis esai yang punya reputasi. Para esais itu, dengan segunung pengalaman bisa dimandat untuk mengampu kelas. Hingga esai ini saya tuliskan, saya masih diliputi segudang tanya, mengapa mesti saya? Nah, saya cobalah mencari pembenaran, sebagai penguat, agar saya bisa percaya diri untuk mengampu kelas.

Saya pun menduga-duganya. Pertama, lebih mudah dihubungi. Kedua, sepertinya mereka mulai percaya keampuan saya dalam menulis esai, setidaknya bisa dilihat tebaran esai saya di media. Dan, ketiga, sebaiknya saya tanya pengelola kelas.

Agar penjelasan saya tentang kepenulisan esai meyakinkan, baiklah saya kutipkan beberapa pendapat yang cukup berguna untuk memahami apa itu esai. Saya mulai dulu menebar jala pengetahuannya Alif Danya Munsy, yang nama aslinya, Yapi Tambayong, yang lebih akrab dengan nama samaran, Remy Sylado, dalam bukunya, Jadi Penulis? Siapa Takut!

Ia Membentangkan pandangan, bahwa sejatinya, esai pada awalnya, bertolak dari tradisi tulis di kebudayaan Barat. Esai dimaksudkan sebagai tinjauan analisis terhadap karya kreatif prosa. Pun, dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, lema ini dimaksudkan sebagai: “Karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya”.

Namun, menurut Alif, meski awalnya orang Indonesia menerima kata ‘esai’ ini sebagai bentuk tulisan kritikal terhadap karya-karya sastra, perkembangan berikutnya, ‘esai’ merambah ke berbagai jenis pengetahuan, yang dibahas secara kritikal, dalam sebuah tulisan analitis, spekulatif, dan interpretatif, menyangkut masalahnya yang aktual dan faktual. Sebagai tulisan kritikal, yaitu opini pribadi, yang memposisikan diri pada pertimbangan-pertimbangan objektif, esai memberikan pengetahuan populer yang dibutuhkan pembaca. Dengan begitu, esai adalah bentuk langsung dari sebuah opini.

Biar pahaman kita akan esai makin menukik, saya ajak ke alam pikiran seorang penulis produktif, Muhiidin M. Dahlan. Pada buku Inilah Esai, Muhiddin membentangkan sajadah pemahaman, bahwa Michel de Montaigne (1533-1592) yang menerbitkan edisi pertama esainya pada paruh abad 15, berjudul: “Of the Vanity of Words”, Montaigne memberikan batasan esai sebagai “percobaan”. Dari sinilah, seorang filsuf, Aldous Huxley, mengajukan pernyataan, hendak mengomentari segala hal dan tentang apa saja. Cuilan, kata Bandung Mawardi.