“Semuanya dicoba untuk digandeng dan dikuatkan kerjasamanya. Beberapa pembelian alusista telah disetujui dengan Perancis, Inggris dan Rusia serta Amerika Serikat,” katanya.
A. Khoirul Umam, Ph.D., dosen Paramadina Graduate School of Diplomacy menyatakan bahwa dari perspektif Ekonomi Politik dan Pertahanan Keamanan terkait isu LCS, pada 2022 mendatang, Indonesia memang harus lebih siaga.
“Tren yang berkembang dari berbagai analisa pakar internasional tentang China, melihat bahwa karakter politik luar negeri China memang cenderung berubah sejak 10 tahun terakhir. Yang semula charming offensive strategy, ketika telah berjalan baik kemudian bisa berubah menjadi alarming offensive strategy,” lanjutnya.
Menurut Umam ketika China menggunakan instrumen keunggulan ekonomi, tidak ada ancaman serius yang timbul.
“Kemudian situasi secara cepat berubah di mana China pada 13 September 2021 lalu ada 6 kapal perang China yang melintasi Laut Natuna Utara. Hal itu jelas adalah show of force dari China di wilayah perbatasan Indonesia,” katanya.
Umam juga mengungkapkan bahwa pada tanggal 15 September 2021 ada rilis dari AUKUS, pakta pertahanan Australia, UK, dan USA yang di antaranya meletakkan fasilitas persenjataan canggih di Hobart, Australia yang dapat menjangkau kekuatan TNI AL di batas selatan Indonesia.
“Ancaman China di Utara dan ancaman AUKUS di selatan, mirip pola ketegangan di masa perang dingin. Situasi tersebut memaksa Indonesia harus mempunyai pola diplomasi tersendiri,” ujarnya.
Menyoroti Investasi China di Asia Tenggara yang semula diharapkan dapat meningkatkan kekuatan ekonomi negara-negara Asia Tenggara, ternyata memiliki karakteristik yang mengorbankan prinsip-prinsip dasar transparansi dan akuntabilitas.
“Dalam praktiknya China lebih sering menggunakan tangan-tangan militer atau eks militer China dalam menjalankan bisnisnya. Hal itu dimaksudkan sekadar untuk menghadapi rezim birokrasi yang agak menyulitkan di masing-masing negara. Namun cara itu banyak mem-bypass prinsip-prinsip dasar transparansi dan akuntabilitas,” katanya.
Karena itu lanjut Umam, negara-negara ASEAN berada pada posisi dilematis. “Apakah berkiblat ke Barat dalam konteks Good Governance, atau mengkalkulasi ulang kerja sama dengan China meskipun banyak menabrak prinsip-prinsip dasar transparansi dan akuntabilitas di masing-masing negara tersebut,” pungkasnya. (Luk)