Scroll untuk baca artikel
Blog

Fantasi Oligarki Runtuhkan Demokrasi

Redaksi
×

Fantasi Oligarki Runtuhkan Demokrasi

Sebarkan artikel ini

AWAL tahun 2022 ini, masyarakat Indonesia resmi mendengarkan keputusan tentang jadwal pemilu Pilpres dan Pileg yang digelar serentak tanggal 14 Februari 2024 . Sedangkan pilkada memilih Gubernur, Bupati dan Walikota diselenggarakan pada 27 November 2024. Keputusan ini diambil berdasarkan rapat kerja Komisi II DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri RI, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di gedung DPR Senayan 24 Januari 2022.

Belum 1 bulan setelah keputusan ini diekspos ke masyarakat luas, tiba-tiba minimal 2 pimpinan parpol mendengungkan jabatan presiden menjadi 3 periode. Publik termasuk segelintir politisi berpikiran jernih tentu saja terperangah dan bahkan akan menelan pil pahit. Bukankan kita tak belajar dari riwayat nan kelam lebih dari 35 tahun Orde Baru berkuasa?, Seolah-olah kita berhasil membangun fisik bangsa ini, namun sudah menerkam kemerdekaan dan memasung kebebasan berpendapat, hak mengeritik pemerintah selama itu dan untung saja mahasiswa berhasil merangsek ke Gedung wakil rakyat dan menutut Rejim Orde baru meletakan jabatannya. Kita bersyukur, Presiden ke 3 RI. BJ Habibie, menabur benih demokrasi dalam  situasi porak poranda secara ekonomi karena badai krisis ekonomi melanda dunia , bukan saja Indonesia. Presiden berikutnya mulai dari Gus Dur, Bu Megawati, Pak SBY dan tentu saja pak Jokowi sudah merawat demokrasi yang sudah ditaburkan pak BJ Habibie sejak era Reformasi. Lalu mengapa tiba-tiba indikasi kuat munculnya oligarki politik di periode kedua pak Jokowi?

Sejarah awal reformasi membuktikan bahwa, badai krisis ekonomi dapat dilalui pelan tapi pasi dalam pergantian rejim untuk memulihkan harkat, martabat rakyat Indonesia  merasakan kebebasan dan kemerdekaan yang tak dinikmatinya selama lebih dari 35 tahun. Jika demikian, jika salah seorang pemimpn parpol yang menjadikan argumen ‘nyungsepnya’ perekonomian Indonesia saat ini karena pandemic Covid19 sebagai alasan memperpanjang jabatan presiden 3 periode adalah tidak masuk akal.Bukankah pak BJ Habibie mampu menurunkan kurs rupiah yang tak dapat dikendalikan Pak Harto? Dan ekonomi kita bangkit perlahan dari krisis politik dan krisis ekonomi global. Jika ada alasan politis perpanjangan jabatan presiden 3 periode yang mengatasnamakan keinginan rakyat, ini benar-benar patut dipertanyakan dan tidak logis. Bukankah para wakil rakyat dari parpol yang pemimpinnya tiba-tiba menyodorkan gagasan presiden 3 periode itu turut hadir dalam rapat Komisi 2 DPR RI tanggal 24 Januari 2022 lalu yang secara tegas menyetujui perubahan jadwal pemilu pilpres, pileg dan pilkada di tahun 2024 kelak. Publik bukan saja merasa dikhianati tetapi merasa iba dengan tabiat para wakil rakyatnya yang hanya dalam kurun waktu 1 bullan, bertindak seperti anak kemarin sore belajar tentang demokrasi.

Demokrasi dengan argument atas nama rakyat; ini pun patut dipertanyakan. Rakyat sudah mempresentasikan dirinya dalam diri para wakilnya di DPR. Muncul suara sumbang beberapa hari terakhir, jangan sampai para wakil rakyat ini mebentengi diri agar dapat pula memperpanjang jabatannya di Senayan menjadi 3 periode. Bukankah ini secara kontraproduktif mengerdilkan peran partai politik yang merupakan ‘pabrik’ politisi muda yang pada gilirannya menjadi wakil rakyat namun terus menunda cita-citanya hanya karena pemimpin partainya tidak percaya diri dan apalagi ingin berlindung di rejim yang amankan posisinya. Pelan tapi pasti, oligarki akan menciptakan plutokrasi  yang mengacu pada kebijakan melindungi kekayaan materi para oknum di lingkaran kekuasan agar mendominasi minoritas lainnya yang dipandang sebagai kompetitor.