Barisan.co – Pilpres Amerika telah dimenangkan Joe Biden. Ia menjadi presiden tertua sepanjang sejarah Amerika dengan usia 78 tahun. Banyak yang menyambut positif kemenangannya. Tapi bagaimana pengaruh terpilihnya Biden terhadap Indonesia?
Kesan pertama yang sering muncul di kalangan ekonom adalah kemenangan Biden diyakini akan membawa sentimen positif terhadap perekonomian Indonesia. Farouk Abdullah Alwyni, Chairman Center For Islamic Studies In Economics and Development (CISFED), menjelaskan secara gamblang tentang dampak kemenangan Joe Biden terhadap Indonesia. Berikut petikan wawancaranya dengan tim barisan.co.
Red: Trump dan Biden, siapa sebetulnya yang lebih menguntungkan bagi Indonesia?
FAA: Sebenarnya siapapun Presiden Amerika itu akan tergantung kepada Indonesianya sendiri. Secara ekonomi, jika kita punya birokrasi yang baik, sistem peradilan yang baik, kepastian hukum yang baik, kapasitas negosiasi yang percaya diri, siapapun Presiden Amerika, perusahaan-perusahaan Amerika Serikat akan tetap mempertimbangkan Indonesia sebagai tujuan investasi yang menarik.
Contohnya ketika masa hangat-hangatnya kebijakan tarif yang dilakukan oleh Trump Administration kepada perusahaan-perusahaan asal China. Kita pun tidak bisa mengambil manfaat itu, karena ternyata banyak perusahaan asal Amerika (yang tadinya berbasis di China) relokasinya justru ke Vietnam bukan ke Indonesia. Jadi di sini faktor luar tidak akan berpengaruh banyak kalau kitanya di Indonesia tidak serius dalam berbenah diri.
Red: Rezim Trump menjaga pajak rendah bagi orang kaya Amerika, Biden sebaliknya. Banyak pengamat kemudian menyebut akan terjadi perpindahan aliran modal dari AS ke negara berkembang. Apakah Indonesia menjadi salah satu yang kecipratan, dalam sektor apa?
FAA: Trump adalah bukan kekecualian, secara umum kelompok Republikan memang cenderung mempunyai kebijakan perpajakan yang “friendly” untuk bisnis. Sedangkan demokrat memang cenderung lebih mengarah kepada “welfare state”.
Tetapi Biden walau bagaimanapun tidak akan seprogresif Bernie Sanders dalam hal kebijakan perpajakan ataupun welfare state, yang punya pemikiran untuk memberikan pajak yang tinggi bagi kelompok top 1% misalnya, yang punya penghasilan lebih dari USD 1 juta/tahun, di mana uang tersebut akan digunakan untuk membebaskan biaya kuliah bagi para mahasiswa, ataupun membangun sistem kesehatan yang gratis bagi segenap kelompok masyarakat.
Biden tidak akan berbeda jauh tentunya dengan pemerintahan Obama, tetap masih dalam rambu-rambu yang bisa diterima oleh korporasi-korporasi besar di Amerika. Di samping itu kebijakan peningkatan pajak juga perlu disetujui oleh Senat. Di sini Senat walaupun tipis, akan dikontrol oleh Partai Republik, jadi tidak akan mudah juga untuk Biden untuk mendorong agenda-agenda yang dimilikinya.
Red: Kemenangan Biden diprediksi mengendurkan tensi perang dagang dengan China. Apa dampaknya bagi Indonesia?
FAA: Tidak juga, persoalan China juga menjadi perhatian bagi Biden Administration. Mereka tidak akan kurang agresifnya dibandingkan Trump jika terkait China. Karena bagaimanapun dari perspektif kepentingan nasional Amerika, China adalah sebuah kekuatan baru yang tidak bisa dibiarkan begitu saja menyaingi pengaruh Amerika.
Biden juga telah menyatakan bahwa China harus taat kepada aturan-aturan internasional dalam bisnisnya. Juga, Biden mempunyai perspektif yang kurang lebih sama dengan Trump terkait persoalan keamanan nasional terkait TikTok.
Bahkan terkait HAM, pemerintahan Biden bisa lebih agresif, terkait Uighur misalnya Biden pernah menyerang China dengan menyatakan bahwa apa yang China lakukan terhadap Muslim minoritas Uighur sebagai sebuah bentuk “genocide”.