Scroll untuk baca artikel
Blog

Upaya Erich Fromm Membongkar Dilema Kehidupan Manusia

Redaksi
×

Upaya Erich Fromm Membongkar Dilema Kehidupan Manusia

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Hidup, kata Erich Fromm, tidaklah sederhana. Kita dikaruniai beberapa hasrat naluriah yang pemenuhannya amat penting bagi kelangsungan hidup. Masalahnya, ketika dunia semakin berwajah benda-benda, naluri kita makin terangsang untuk memiliki semuanya.

Demi mencapai itu, tak segan manusia menjelmakan dirinya sebagai sebuah komoditas yang nilainya terletak pada seberapa dirinya punya nilai jual. Manusia diharapkan mampu bekerja dengan baik dan harus hidup serta memuaskan sejauh bagi fungsinya tersebut.

Di sinilah situasi pelik muncul. Tatkala ‘bekerja dengan baik’ telah menggantikan ‘hidup dengan baik’, seperti kata Erich Fromm, manusia kemudian lebih berorientasi memiliki daripada menjadi.

Hidup lantas didasarkan pada kepemilikan pribadi, keuntungan, dan kekuasaan sebagai pilar keberadaan manusia. Memperoleh, memiliki, dan mendapatkan keuntungan adalah hak yang kudus dan tak boleh diingkari dari individu di dalam masyarakat.

Erich Fromm menyoroti, bahwa hakikat dari modus eksistensi yang didasarkan pada orientasi memiliki merupakan turunan dari hakikat hak miliki pribadi. “Dalam modus eksistensi ini, satu-satunya yang penting adalah bagaimana saya mampu mendapatkan benda atau properti yang saya inginkan, serta hak saya yang tak tak terbatas untuk mempertahankan apa yang sudah saya dapatkan.” Tulis Fromm dalam bukunya, the Art of Living (2018:61).

Hidup Bukan Sekadar tentang Memiliki

Sebetulnya, sudah sejak lama dualisme eksistensi antara memiliki dan menjadi disoroti. Oleh agama-agama, keduanya menjadi pembahasan panjang. Buddha telah mendeskripsikan modus perilaku seperti ini sebagai berkeinginan. Dalam kepercayaan Buddha, masalah dalam hidup manusia datang ketika ia mulai menginginkan sesuatu.

Dalam tradisi agama Yahudi dan Kristen, modus memiliki diistilahkan sebagai hasrat, yang mengubah setiap orang dan setiap benda menjadi sesuatu yang mati dan subjek bagi penaklukan orang lain.

Banyak usaha manusia untuk meminggirkan perkara kepemilikan pribadi. Sosialisme, dalam hal ini, adalah jawaban langsung dari modus memiliki. Di negara-negara berpaham sosialis, kepemilikan pribadi atas barang-barang sulit untuk dimungkinkan.

Akan tetapi, ternyata masalah utama tidak terjawab oleh negara sosialis. Bahwa, penekanan modus memiliki tidak berubah menuju menjadi. Yang terjadi hanyalah pemindahan kepemilikan dari swasta atau perorangan ke tangan negara.

Erich Fromm dengan begitu menyimpulkan, formula baku untuk penghapusan kepemilikian pribadi atau untuk sosialisasi sarana-sarana produksi, telah terbukti sebagai sesuatu yang fiktif.

Sehingga bagi Erich Fromm, yang penting bukan soal menghilangkan modus memiliki, tetapi apakah (dan sejauh manakah) sikap batin seseorang beralih dari orientasi memiliki menuju orientasi menjadi. Ketika memiliki sudah tidak lagi dipandang penting, tidak relevan pulalah apakah seseorang mempunyai sedikit lebih banyak daripada orang lain.

Dengan begitulah, sehingga dapat dimengerti bahwa hidup bukan hanya dicirikan secara lahiriah tetapi juga oleh batin.

Sejauh ini, pemahaman lahiriah menyebut bahwa manusia pada dasarnya malas, pasif, hampa, dan tidak suka bekerja atau beraktivitas lain, kecuali bila mereka didorong insentif akan memperoleh keuntungan material, atau kelaparan, atau rasa takut akan hukuman.

Namun bagi Erich Fromm tidak demikian. Menurutnya, yang inheren dalam diri manusia bukan hanya sifat lahiriah yang malas dan pasif itu. Tetapi, manusia juga punya akar batiniah untuk menjadi: untuk mengekspresikan kemampuannya, aktif, terhubung dengan orang lain, dan terbebas dari penjara keegoisan diri.