“Penciptaan Fisika adalah warisan bersama seluruh umat manusia. Timur dan Barat, Utara dan Selatan, sama-sama berpartisipasi di dalamnya.”
Abdus Salam (Muslim Peraih Nobel Pertama)
BARISAN.CO – Profesor Abdus Salam lahir di Pakistan pada 29 Januari 1926. Dia menjadi ilmuwan Muslim pertama yang menyabet Hadiah Nobel untuk Fisika tahun 1979, berbagi dengan dua ilmuwan Amerika, Sheldon Glashow dan Steven Weinberg atas kontribusinya terhadap teori penyatuan elektrolemah yang menjelaskan kesatuan gaya nuklir lemah dan elektromagnetik.
Abdus Salam juga terkenal sebagai seorang promotor pendidikan sains yang mendirikan Pusat Internasional untuk Fisika Teroritis (ICTP) tahun 1964 di Trieste, Italia.
Tempat tersebut kemudian menjadi tempat para ilmuwan dari negara berkembang yang datang secara langsung untuk dapat berinteraksi dengan pemimpin di bidangnya.
Selain mendirikan Pusat Internasional untuk Fisika Teoritis, Abdus Salam mempromosikan sains di negara asalnya melalui International Nathiagali Summer (INSC), sebuah pertemuan tahunan para ilmuwan dari seluruh dunia ke Pakistan untuk berdiskusi tentang fisika dan sains.
Dia juga pernah menjadi penasihat ilmiah untuk Kementerian Sains dan Teknologi Pakistan dari tahun 1960 hingga 1974. Saat itu, Abdus Salam menjadi direktur pendiri Komisi Penelitian Luar Angkasa dan Atmosfer Atas (SUPARCO) dan bertanggung jawab atas pembentukan Kelompok Fisika Teoritis (TPG) di Komisi Energi Atom Pakistan (PAEC).
Pendidikan
Pada tahun 1942, Abdus Salam bergabung dengan Government College University di Lahore. Dia mendaftarkan diri untuk belajar Matematika dan Bahasa Inggris. Ia dipandang mahir bahasa Inggris karena beberapa tutornya menilai bahwa Abdus Salam akan menjadi guru bahasa Inggris yang hebat.
Pertama kalinya, Abdus Salam menerbitkan makalah di bidang Matematika tahun 1943 berjudul “A problem of Ramanujan”. Dia lulus dengan nilai yang mencengangkan: 300 dari 300 nilai di Matematika dan 121 dari 150 di English Honours. Lulus dengan memecahkan rekor dalam ujian B.A, Abdus Salam pun mendapatkan beasiswa untuk meneruskan pendidikan di St John’s College di Universitas Cambridge, Inggris.
Saat menginjakkan kaki pertama kali di St. John College, dia mengalami kejadian kurang mengenakkan. Setibanya di kampus, dia membawa tas seberat 40 kilogram dan meminta bantuan seorang porter. Sayang, porter itu justru menunjuk ke arah gerobak dan memintanya untuk menolong dirinya sendiri.
“Insiden yang saya ceritakan di sini bukan hiburan, tetapi subyek yang ada adalah pendidikan di mana anekdot-anekdot ini menjadi bagian untuk menyampaikan maksud,” katanya.
Di Cambridge, Abdus Salam bekerja dengan fisikawan teoritis, Nicholas Kemmer. Mahasiswa Nicholas, yakni Paul Matthews yang sedang mengejar gelar Ph.D dengan memperluas renormalisasi dari elektrodinamika kuantum ke teori meson. Dia membantu Paul dan memusatkan perhatiannya dan menyelesaikannya dengan cepat. Sehingga, reputasinya terbangun sebagai bakat yang luar biasa.
Tahun 1949, Abdus Salam menerima gelar sarjana di bidang matematika dan fisika dengan penghargaan tertinggi.
Insiden Ahmadiyah
Februari 1953, kerusuhan anti-Ahmadiyah terjadi di kota Lahore. Insiden itu berlangsung dengan serangan pembakaran dan penjarahan yang menyebar ke bagian kota Punjab. Ratusan penganut Amadiyah dikhawatirkan akan dibunuh. Ketika insiden itu mereda, Abdus Salam telah kembali ke St. John’s College Cambridge, sebagai dosen.
“Saya kembali ke Cambridge pada tahun 1954 sebagai dosen dan anggota St. John’s College. Tiga tahun kemudian, saya menerima jabatan profesor di Imperial College, London, di mana saya berhasil mendirikan salah satu kelompok fisika teoritis terbaik di dunia,” tuturnya.
Terlepas dari kepindahannya dari Pakistan, sebagian dan intelektual menghargainya sebagai aset. Dia dilantik sebagai rekan di Akademi Ilmu Pengetahun Pakistan tahun 1954.
Kemudian, di tahun 1968, dia menerima penghargaan Atoms for Peace atas upayanya membuat dunia sadar akan manfaat yang diperoleh dari penggunaan pengetahuan nuklir untuk perdamaian, kesehatan, dan kemakmuran.
Tahun 1974, di bawah rezim Zulfiqar Ali bhutto, Jamaah Muslim Ahmadiyah di Pakistan secara resmi dinyatakan sebagai non-muslim melalui undang-Undang Konstitusi yang disahkan di parlemen karena keyakinan mereka. Kabar tersebut sangat memukul Abdul Salam karena ilmu dan agama adalah dua pilar di hidupnya. Dalam catatan hariannya, Abdus Salam menuliskan “Dinyatakan non-muslim, tidak bisa mengatasinya.”
Bangga terhadap Islam dan Pakistan
“Untuk menggarisbawahi kebanggaan pribadinya sebagai Muslim, ia menumbuhkan janggut dan mengambil nama deoan kenabian, Muhammad.” Gordon Fraser dalam buku Cosmic Angry: The First Muslim Nobel Scientist, hal. 249.
Gordon Fraser dalam buku Cosmic Angry: The First Muslim Nobel Scientist, hal. 249.
Mengutip Herald Dawn, dia mengatakan, tata cara apa pun tidak akan mengubahnya. Abdus Salam akan tetap melanjutkan pekerjaannya dan terus mencintai Islam dan Pakistan.
“Saya terlahir sebagai orang Pakistan. Gen saya terbentuk di sini, nenek moyang saya telah tinggal di tanah ini selama lebih dari 200 tahun dan menerima Islam 700 tahun yang lalu. Tidak ada yang bisa merampak hak saya ini.”
Pada tahun 1996, di usia 70 tahun, Abdus Salam meninggal. Dia diagnosis menderita penyakit Alzheimer dan menjadi semakin lemah di penghujung hayatnya. Dia dimakamkan di negara kelahirannya, Pakistan.
Meski pun, menjadi pahlawan dan panutan, tetapi, karena keyakinannya, batu nisan yang awalnya bertuliskan “Abdus Salam, Peraih Nobel Muslim Pertama” dirusak. Orang-orang menghapus kata muslim dari batu nisannya tersebut. [rif]