SABTU dini hari. Persisnya 16 April 2016 pukul 02.30, saya bersama Kang Putu, Exsan, Nicko, Yundra, dan Sholekan menjejakkan kaki di rumah panggung Joko Prianto yang akrab disapa Mas Print. Rumah Mas Print berada di ujung Desa Tegaldowo, berbatasan dengan Desa Timbrangan, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang.
Pria kelahiran 5 Januari 1982 itu menyambut kami. Kami pun berbincang segala rupa, dari pengalaman dia mendampingi ibu-ibu Kendeng ke Istana Negara sampai persoalan Kendeng dan kedunguan Gubernur Jawa Tengah.
Mas Print, tamatan STM Muhammadiyah Blora, menjelaskan panjang-lebar persoalan Kendeng berhadapan dengan P.T. Semen Indonesia. Kami serius mendengarkan sembari menikmati suguhan kopi. Seiring dingin udara dini hari, dia menjawab pertanyaan kenapa yang bergerak di Rembang perempuan.
Dia menuturkan, ada tiga hal yang melatari. Pertama, yang mendapat dampak pembangunan pabrik semen paling besar adalah perempuan. Perempuanlah mula-mula yang merasakan kerusakan lingkungan akibat keberadaan pabrik semen. Misalnya, kandungan air bersih menipis yang berpengaruh terhadap angka kesehatan. Banyak warga sakit, terutama anak-anak. Lagi-lagi, kaum ibu atau perempuanlah yang kerepotan.
Kedua, kaum perempuan luwes. Solidaritas di antara mereka kuat. Jika mereka menempati barisan terdepan, diharapkan perjuangan panjang itu tak mudah dipatahkan.
Ketiga, perempuan di mata kaum laki-laki adalah sosok lemah, sosok yang harus dilindungi. Justru karena itulah keberadaan perempuan di garda terdepan akan membuat aparat keamanan yang mayoritas laki-laki tak tega melakukan kekerasan fisik terhadap mereka.
Berbeda jika yang berada di barisan terdepan laki-laki, yang bakal terjadi adalah kontak fisik. Bahkan mungkin korban jiwa tak bisa dihindari. Padahal, warga Tegaldowo dan Timbrangan berharap perjuangan mereka berhasil, tanpa kekerasan. Tanpa bentrokan. Tanpa korban jiwa.
Tiga latar belakang itulah yang melahirkan tenda perjuangan. Para ibu Tegaldowo dan Timbrangan menguni tenda itu secara bergiliran. Ibu-ibu berbagi tugas dengan suami masing-masing dalam urusan rumah tangga. Ibu-ibu bertenda. Suami berladang, menggarap sawah, menjaga rumah, memasak, mencuci, dan merawat anak-anak.
Emansipasi berlangsung di sana. Perjuangan yang konon diteguhkan Kartini itu, kini mendapat wujud nyata di Desa Tegaldowo dan Timbrangan. Ibu-ibu berada di barisan terdepan melawan pemodal.
Perbincangan terus berlanjut. Mas Print mengulang cerita tentang keberanian ibu-ibu mengecor kaki, yang telah beredar luas di media massa. Saya semangat menyimak, karena mendapat cerita langsung dari sumber utama dan pertama.
Tepatnya 12 dan 13 April 2016 publik dikejutkan oleh aksi ibu-ibu Kendeng mengecor kaki mereka. Itu sebagai simbol para petani kini dipasung semen. Petani Kendeng tak sanggup menggarap sawah dan ladang, karena keberadaan pabrik semen. Pabrik semen merusak tanah, menghilangkan sumber air.
Mereka melakukan aksi tepat di depan Istana Negara. Ada dua hal yang mereka harap. Pertama, mereka mendapat kejelasan tentang penyelesaian konflik dengan P.T. Semen Indonesia. Negara, dalam hal ini pemerintah, tak bisa tidak mesti segera menghentikan izin usaha pembangunan pabrik semen di Pulau Jawa, terutama di kawasan Kendeng Utara.
Kedua, mereka menujukan aksi itu untuk menggugah rasa memiliki dan melindungi air dan tanah baik kepada pemerintah maupun seluruh lapisan masyarakat. Dua hal itu mereka nyatakan secara simbolik dengan mengecor kaki.
Pada hari pertama, Selasa, 12 April 2016, aksi berlangsung sejak pukul 14.30 sampai 19.00. Keesokan harinya, aksi kembali berlangsung sejak pukul 13.00 dan selesai pukul 19.30. Pada hari kedua itulah, terjadi fenomena alam yang menarik. Pukul 16.30 muncul pelangi di langit Jakarta. Pada saat bersamaan di Rembang, terutama di Desa Tegaldowo dan Timbrangan, turun hujan deras. Tuhan telah menunjukkan kuasa, mendukung upaya spiritual ibu-ibu Kendeng. Mereka tak sendirian. Tuhan bersama mereka.