BARISAN.CO – Ajip Rosidi pernah secara jeli mencatat inkonsistensi bahasa Indonesia dalam penulisan huruf e. Ada misalnya, huruf e yang disisipkan di antara konsonan ‘t’ dan ‘r’, pada kata seperti: sejahtêra, têrampil, bahtêra, artêri, têrang, dan lain-lain. Tapi ada juga kata berpola yang sama yang tidak menyertakan huruf e, seperti justru, mantra, putra, sastra, sutra, dan lain-lain.
Barangkali huruf e memang inkonsisten. Belakangan, bukan hanya soal konsistensi huruf itu yang bermasalah. Tapi kegemaran kita meletakkan huruf e di depan beragam nomina juga ikut bermasalah. Sebutlah, e-ktp, e-tilang, e-bisnis, e-sertifikat, e-money, dan daftar ini bisa saja dibuat sepanjang apapun.
Sekarang semua serba di-‘e’-kan. Dan dikesankan bahwa kita telah sukses mengadopsi sistem elektronik (digitalisasi) dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, huruf e, sebagai lambang atas watak kemajuan itu, belum sepenuhnya dijaga dengan sikap digital yang bijak pada masing-masing orang.
Nah, masalah utamanya di sini: di dalam konteks bernegara. Pada saat semestinya negara mengajak masyarakat untuk bijak menjaga huruf e lewat edukasi, yang kita dapatkan lebih banyaknya represi UU ITE. Seolah-olah dalam sudut pandang negara, ketidak-terjagaan sikap masyarakat di dunia digital bisa selesai dengan UU itu.
Awalnya, UU ITE dibuat sebagai kepastian hukum informasi dan transaksi elektronik. Seiring waktu, pasal-pasal karet UU ITE justru menjadi alat negara untuk mendikte apa yang boleh dan tidak. Lalu bagaimana sekarang? I Gede Ari Astina alias Jerinx SID? Dia hanyalah satu dari sekian korban pasal-pasal karet yang ada di UU tersebut. Sebelum dia sudah banyak.
Saya kira, kasus Jerinx memang penting dijadikan perhatian. Bahwa dia sering bicara ngawur itu satu soal. Tapi menegakkan demokrasi di masa krisis adalah soal lain.
Peraih nobel ekonomi Amartya Sen menyebut demokrasi dan ekonomi idealnya beriringan. Sen percaya, demokrasi pada dasarnya adalah jalan untuk menguatkan rakyat. Dan ketiadaan demokrasi—yang sering kali melahirkan ketidakadilan—bagi Sen adalah akar dari semua bentuk kemiskinan. Itu menjelaskan kenapa, pada saat krisis terjadi (1998), kemiskinan di Indonesia meningkat dari 22,50 juta orang di tahun 1996, menjadi 49,50 juta orang di tahun 1998.
Hanya dalam kurun waktu 2 tahun krisis terjadi, ada tambahan sebanyak 27 juta orang yang tiba-tiba kehilangan kapabilitasnya untuk menjalankan pelbagai fungsi dalam hidupnya. Dulu semasa krisis 1998, sebelum mahasiswa datang memecah kebuntuan, banyak kalangan memilih diam saja mengetahui politik anggaran pemerintah lebih diarahkan untuk memperkuat negara, bukan memperkuat rakyat terutama yang miskin.
Situasi hari ini tentu saja berbeda dari tahun 1998. Kita memiliki ruang demokrasi, dan memiliki berkah digitalisasi di balik huruf e. Semua orang, termasuk Jerinx, bisa menyuarakan pendapatnya atas langkah pemerintah dalam menangani pandemi. Dan ini menjadi hal yang perlu dirawat, agar sejarah krisis tidak berulang. Selamat Hari Aksara 2020. []