Scroll untuk baca artikel
Fokus

Fenomena Mengonsumsi Daging Anjing & Masalah-Masalahnya

Redaksi
×

Fenomena Mengonsumsi Daging Anjing & Masalah-Masalahnya

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Ada kejadian unik yang tak terduga saat Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, mengunjungi tempat isolasi Covid-19 di Klaten, Jateng pada Agustus lalu: di antara pasien ada yang nyeletuk minta dikirim sengsu ke Ganjar Pranowo.

Saat itu memang Ganjar Pranowo bertanya pada para pasien Covid-19, makanan apa yang paling disukai selama berada di tempat isolasi. Mendengar itu Ganjar Pranowo tidak banyak bereaksi, dan hanya menanggapi pasien tersebut dengan candaan.

Sengsu adalah singkatan dari Tongsen Asu. Masakan tongseng berbahaan dasar daging anjing ini sudah marak di Jawa Tengah, khususnya di Surakarta.

Di Kota Surakarta dan sekitarnya banyak penjual olahan daging anjing. Warung itu biasa disebut dengan warung rica-rica jamu, rica-rica gukguk, atau sate gukguk.

Warung yang menjual daging anjing sering memakai nama alias untuk menyebut jualan mereka. Bisa jadi itu sebagai bentuk eufemisme karena makan daging anjing haram bagi umat muslim dan di sebagian tempat, anjing bukan makanan yang umum.

Selain jamu, sebutan lain untuk daging ini berkisar antara B-1, Scooby-Doo, kambing balap, sampai kijang kota.

Gara-gara nama alias ini, bukan satu dua orang saja yang tertipu makan tanpa sadar apa yang sedang ia makan.

Sebagaimana pernah terjadi pada para turis asing di Bali, tanpa setahu mereka, menyantap daging anjing yang diracun atau dibunuh dengan cara lain yang sangat kejam.

Kasus ini mencuat setelah diungkap dalam investigasi media Animals Australia. Banyak pedagang kaki lima memasang tulisan ‘RW’ di depan warung mereka untuk menandakan bahwa mereka menjual daging anjing.

Namun kebanyakan wisatawan asing tak paham dan sebagian penjual mengecoh mereka, seakan daging itu berasal dari hewan lain.

Perlindungan Konsumen

“Sebetulnya ada seperangkat aturan yang bisa digunakan untuk menghindari konsumen secara umum dan konsumen Muslim secara khusus dari ekses negatif sebuah produk seperti daging anjing,” kata Al-Amin, anggota DPRD Kota Surakarta fraksi PAN, kepada kepada Barisanco, Senin (6/12/2021).

Al-Amin menyebut, daging anjing semestinya bukan termasuk bahan konsumsi.

“Aturannya termuat dalam pasal 1 UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan, di mana tidak satupun disebut bahwa anjing adalah salah satu dari sumber hayati produk peternakan, kehutanan, dan jenis lainnya,” katanya.

Menurutnya, harus ada sosialisasi terus menerus soal aturan ini, terutama kepada pedagang. Pedagang kuliner anjing minimal perlu mengerti bahwa produk yang mereka jual tidak memiliki legitimasi hukum.

“Sebagian pedagang kuliner anjing di Solo Raya sebetulnya sudah paham aturan ini. Mereka bahkan malu kalau ditanya kerjanya apa. Namun tetap saja mereka buka warung dan menerima pelanggan. Sosialisasi dimaksudkan agar mereka menyadari kewajibannya melindungi konsumen. Syukur-syukur mau menutup warung dan beralih profesi,” katanya.

Adapun setiap pemerintah daerah, kata Al-Amin, diharapkan dapat satu suara terkait fenomena kuliner daging anjing.

Apalagi Indonesia sudah punya PP Nomor 39 tahun 2021 yang mengatur tentang produk halal. PP tersebut, kata dia, harus diimplementasikan di tingkat daerah.

“Jika diketahui bahwa daging anjing adalah produk non-halal, maka pertama-tama harus dipastikan bahwa Pemda dan DPRD satu suara tentang itu, kemudian membuat Perda yang mengatur jaminan produk halal,” kata Al-Amin.

Dampak Kesehatan

Kuliner daging anjing memiliki segmentasi yang jelas, konsumennya loyal dari kelompok nonmuslim dan kaum ‘abangan’ yang menurunkan praktik konsumsi daging anjing sampai ke anak cucu.

Selain karena harganya yang relatif murah, mengonsumsi daging anjing telah menjadi budaya kuliner dan diyakini bagus untuk kesehatan. Beberapa orang percaya dagingnya bisa mengobati demam berdarah dan asma.