Scroll untuk baca artikel
Blog

Flu Indonesia Raya

Redaksi
×

Flu Indonesia Raya

Sebarkan artikel ini

PAGI ini bangun tidur jebul saya terserang flu. Moga flu biasa walau tergolong berat, bukan tertular Rick dari Corona — itu judul puisi pop balads karya Rendra.

Sembari menyeruput teh nasgitel, saya mencoba melawan lupa. Siapa yang kirim kado firus dunia ketiga ini. Selama saya di rumah wakaf Lutfi AN , rumah biasa saya singgah setiap pulkam Tegal, tamu memang berdatangan. Mereka seniman, sastrawan atau jurnalis.

Demikian, kami ngobrol tentang Indonesia Raya, sisi terang atau gelapnya. Bersama beberapa tuan rumah bahkan sesekali ngobrol labuh hingga subuh.

Mendadadak saya ingat, lewat tengah malam wartawan Radar Tegal Abidin Abror datang siang hari. Dia tampak muda dan berwajah secerah matahari. Tidak ada kata-kata, kecuali saya bukakan pintu dan dia masuk dengan sangat santun berkostum cerah pula. Ya, Om Vespa Abror almarhum hadir dalam mimpi puspo tajem saya.

Saya tidak ingat, mungkinkah kami ngobrol tentang Indonesia Raya yang kena influenza setiap lima tahun. Setiap jelang pemilukada. Flu politik biasa, bukan jenis Covid yang menyerang dunia.

Flu lokal politik new tradisional. Pembelahan kontravita fanatik — untuk tidak menyebut perbedaan paham ideologi. Sebabnya memang tidak ada konflik politik beserta uborampe kritik. Tapi lebih sebagai fanatisme golongan yang sengaja dibenturkan antara dua gerombolan, dan tidak ada visi dari masing-masing politik.

Itu terjadi sejak orde lama, orde baru hingga reformasi, dengan penamaan berganti. Ini kali muncul istilah beda keyakinan atas nama golongan dan agama. Yakni antara frasa oligarki (kekuasaan politik-ekonomi) dan diksi ‘politik identitas’ (politisasi agama).

Di era orde lama, lembah dari konflik dua kubu itu ialah munculnya gerakan DI|TII. Di peralihan orde lama ke orde baru, berpuncak pada meletusnya gerakan yang diparabi G-30-S 1965.

Rakyat pun menjadi korban, meski tidak ada aroma budaya politik, apalagi adagium politik kebudayaan yang dicitakan para pendahulu kita. Harus diingat politik kebudayaan Soekarno telah diubah menjadi politik ekonomi Soeharto, hingga ke era reformasi. Ujungnya dengan sendirinya firus kapitalisme liberalisme. Akibatnya, korupsi kolusi nepotisme.

Bisa jadi dalam mimpi puspo tajem itu, saya tertular flu Indonesia Raya Abidin Abror. Tidak ada obrolan sejarah yang mencatat darah, sebutlah sejak Ken Arok hingga G-30-S. Jadi insya Allah, Pemilukada 2024 jasmerah tidak akan berlumur darah.

Indonesia Raya akan baik-baik saja. Hanya akan berganti personae pemimpin saja, berganti orang saja. Sebab diktum politik mengatakan, satu negara akan berubah hanya kalau sistemnya berubah. Kalau sistemnya ajeg ya nggak usah bermimpi terjadi perubahan.

Saya pikir, Indonesia Raya akan sehat walafiat, kalau negeri ini mengembalikan sistem politik ekonomi ke politik kebudayaan. Niscaya firus dunia kapitalisme-liberalisme dengan batuk pilek KKN plus ingus pusing hukum tumpul ke atas runcing ke bawah, akan perlahan sembuh.

Bagaimana dengan dasar politik kebudayaan akan tercipta politik yang berbudaya, ekonomi yang berbudaya, hukum yang berbudaya.

Ya, moga flu saya yang tertular almarhum Abidin Abror dalam mimpi puspotajem ini akan lekas berlalu.***