Namun, pikiran tersebut lambat laun pupus, seiring dominasi sihir teknologi digital. Terlebih hari-hari ini, kita beramai-ramai migrasi ke ranah virtual. Kini saya tak percaya lagi, selain daya beli buku memang rendah, saya melihat minat baca kita sesungguhnya juga minim.
Acap saya mendapati apologi: minat baca kita tidak rendah kok, buktinya pengguna media sosial facebook kita yang tertinggi keempat setelah India, Amerika Serikat, dan Brazil.
Baiklah, saya tidak membantahnya, tapi bagaimana dengan pertanyaan: apakah kita juga sudah menjadikan perpustakaan sebagai bagian dari hidup keseharian? Apakah kita sudah mengenal kata perpustakaan, bahkan istilah taman baca, seperti halnya kita familiar dengan kata restoran? Apakah kita sudah menjadikan membaca sebagai aktivitas favorit? Dan sebagainya, dan sebagainya.
Terlepas dari keadaan tersebut, ya, saya menikmati kebersamaan di forum yang bersahaja itu. Teman-teman itu sungguh bersahaja. Dan justru kebersahajaan itulah, saya menemu wajah masa depan yang cerah. Mereka bersahaja, tapi bersemangat, sangat antusias, dan berkomitmen.
Dari ungkapan dan tatapan wajah teman-teman yang berjiwa relawan, yang bekerja tanpa pamrih, saya membayangkan gerakan literasi kian merembes hingga ke ujung pelosok. Bangsa yang berbudaya literasi tinggi bukan lagi omong kosong.
Mereka kan sedikit? Benar, mereka tak banyak. Hanya segelintir. Namun, sebagaimana Margaret Mead (saya peroleh ini dari sosialisasi PHI) pernah mengatakan, “Jangan pernah remehkan kekuatan satu kelompok kecil warga negara yang serius berpikir dan berkomitmen, mereka ini dapat mengubah dunia.”
Nah, mereka memang kelompok kecil, tapi yang saya tahu mereka itu berjejaring luas. Mereka menulis. Ada yang telah mengorbitkan buku ke mana-mana. Mereka menggelar buku bacaan gratis di rumah-rumah. Mengadakan kursus kerelawanan. Mengadakan temu wicara. Dialog-dialog literasi, memusyawarahkan buku.
Singkatnya, dari pertemuan perdana pengurus, usai Munas ke-IV di Semarang, saya merasakan denyut semangat mereka itu. Suara mereka memang tak akan layak jual di ranah kampanye politik, tapi justru secara real mereka terus berbuat. Mereka tidak mau tinggal diam dalam proses perubahan yang memang akan terus berjalan.
Mereka sadar bahwa kegiatan literasi itu kerja sosial. Kerja yang tak banyak peminat. Kerja yang kecil kemungkinan mendatangkan pendapatan ekonomi. Mereka sadar sesadar-sadarnya, bahwa tidak sedang bekerja di ranah bisnis oriented, tetapi layaknya pekerja sosial. Maka, bukan perolehan ekonomi yang teraih, melainkan penghargaan sosial. Saya senang bareng mereka. Mengarus bersama untuk mendendangkan Indonesia Membaca, mars TBM, di atas perahu Forum TBM.