Scroll untuk baca artikel
Kolom

Gelaran #1 Nglaras Jagat Ngloram Sebagai Praktik Partisipasi Masyarakat Pedesaan dalam Pembangunan Desa Berkelanjutan

Redaksi
×

Gelaran #1 Nglaras Jagat Ngloram Sebagai Praktik Partisipasi Masyarakat Pedesaan dalam Pembangunan Desa Berkelanjutan

Sebarkan artikel ini

Gegap gempita yang terlihat dari #1 Nglaras Jagat Ngloram ini ternyata mampu menumbuhkan semangat partisipasi warga. Komunitas Bumi Budaya meyakini, bahwa dalam membangun desa utamanya sebuah peninggalan leluhur yakni situs, perlu upaya membiasakan dahulu masyarakat sekitar untuk bersatu dan bahu membahu dalam satu kegiatan agar tumbuh kesadaran rasa memiliki dan merasa diberi ruang berpartisipasi.

Fasilitasi ruang partisipasi masyarakat pada perhelatan kegiatan ini, ternyata mampu membawa suasana kebersamaan yang sangat harmonis. Dan, dengan kebersamaan inilah dapat dijadikan modal sosial yang kuat untuk melakukan pembangunan yang memakmurkan dan menyejahterakan.

Gelaran #1 Nglaras Jagat Ngloram yang diselenggarakan secara kolektif antara Komunitas Bumi Budaya-masyarakat setempat-perusahaan swasta-akademisi-media, dibuka dengan acara Kirab Banawa Sekar yang di dalamnya terdapat simbol simbol budaya yang dihadirkan melalui peran penari barongan, penabuh, sesaji, gunungan, busana, tata rias, dan bentuk pertunjukan yang memiliki makna dan mengandung nilai nilai kejayaan masa silam.

Dan, tidak sekadar sebagai sebuah pertunjukan kesenian saja, tetapi juga mampu memberikan andil yang besar pada pembangunan masyarakat desa, dalam arti pembangunan manusia melalui praktik berkebudayaan untuk mewujudkan masyarakat sadar budaya.

Praktik keberpihakan pada tradisi dan budaya lokal ternyata mampu memberikan warna pada pembangunan masyarakat desa. Hal ini terkonfirmasi lewat antusiasme budaya dan bara lokalitas yang disebut sayeg Saeko Kapti (Se-iya se-kata). Inilah semangat yang mestinya terus dipupuk dalam pembangunan melalui artikulasi seni, tradisi, dan budaya lokal.

Partisipasi masyarakat merupakan pintu masuk terjadinya pembangunan desa berkelanjutan. Dan, tradisi serta budaya lokal adalah pendorongnya. Ruang partisipasi dan keberpihakan pada tradisi dan budaya lokal mampu menumbuhkan;

Pertama, nilai partisipasi yang hadir secara utuh karena digerakkan dengan dorongan kebersamaan. Kebersamaan juga merupakan inti persaudaraan dimana nilai ini masih kuat di masyarakat desa.

Dari sini relasi pembangunan tidak menjadikan isolasi antar kelas yang berpotensi menjadi gelanggang pertarungan. Maka dari itu, partisipasi adalah “teknologi pengingat” bahwa pembangunan mesti menjadi pengungkit nilai kebersamaan dan bukan panggung persaingan.

Kedua, nilai toleransi pun tampil dari praktik praktik berkebudayaan, yang juga merupakan pangkal untuk meyakini bahwa sumber pembangunan adalah spiritualitas. Nilai toleransi sebagai mata air spiritualitas tertinggi, dan akan mengalirkan moralitas yang jernih dalam berpikir, berucap, dan bertindak. Dalam bahasanya Raden Mas Panji Sosrokartono adalah catur mukti.

Ketiga, nilai kerelaan mengontribusikan sumberdaya yang mempertautkan masyarakat desa dengan aktivitas praktik praktik kebudayaan, tentunya akan menerbitkan potensi potensi yang selama ini tersuruk dan mengendap.

Ketiga, nilai kerelaan mengontribusikan sumberdaya yang mempertautkan masyarakat desa dengan aktivitas praktik-praktik kebudayaan, tentunya akan menerbitkan potensi-potensi yang selama ini tersuruk dan mengendap.

Nilai inipun merupakan tangkai terpenting berhubungan dengan modal pembangunan desa dan sebagai mata rantai pembangunan (ekonomi) desa. Bila dipantulkan pada poros kebijakan saat ini dimana desa adalah altar baru pembangunan nasional, maka pengelolaan sumberdaya ini dapat disematkan kepada semacam institusi koperasi atau BUMDesa.

Keempat, nilai kerja sama yang dalam berapa aspek diterjemahkan menjadi gotong royong. Nilai ini masih menjadi bahas relasi antar manusia di desa.