Ketika pandemi berlangsung tahun 2020 dan berdampak pada perekonomian dan kemampuan fiskal pemerintah, PMN kepada BUMN tetap diberikan sebesar Rp31,29 triliun. Nilainya lebih besar dari tahun 2019. Diprakirakan terus bertambah pada tahun 2021 yang sedang berjalan ini, menjadi Rp71,19 triliun. Dan diusulkan sebesar Rp38,5 triliun pada tahun 2021.
Awalil menilai kebijakan ini terpaksa diambil karena beberapa BUMN besar yang memperoleh penugasan PSN telah mengalami kesulitan keuangan. Dari sebelumnya sudah kurang bagus menjadi lebih buruk karena pandemi. Dicontohkannya, PT Hutama Karya yang jika outlook 2021 terealisasi dan usulan RAPBN 2022 diterima, maka sejak 2015 menerima sebesar Rp75,30 triliun. Merupakan PMN terbanyak yang pernah diberikan pada satu BUMN.
Contoh lainnya tentang kemungkinan kesulitan keuangan tengah dialami oleh BUMN adalah PMN kepada PT. Waskita Karya. Semula tidak dialokasikan pada APBN 2021, namu di pertengahan tahun berjalan, rencananya akan memperoleh Rp6,90 triliun. Dan diusulkan lagi sebesar Rp3 triliun dalam RAPBN 2022.
Awalil menyayangkan kurangnya informasi kepada publik tentang kondisi keuangan terkini dari BUMN, terutama yang memperoleh penugasan PSN. “Data tentang total aset, utang dan ekuitas saja hanya sampai dengan tahun 2019 di laman kementerian BUMN. Dan sebagian besar BUMN tidak menyajikan laporan keuangan tahun 2020 atau ringkasannya kepada publik. Keuali yang telah berstatus perusahaan terbuka, karena diwajibkan oleh peraturan. Kondisi ini menimbulkan berbagai rumor, yang justeru bisa lebih membahayakan,” lanjutnya.
Dikritiknya pula tentang penandaan (tagging) ataupun penjelasan bahwa sebagian PMN kepada BUMN merupakan bagian dari anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Termasuk beberapa skema pengeluaran pembiayaan, yang bukan PMN, namun bersifat bantuan kepada BUMN. Antara lain diperkuatnya BUMN atau badan yang memberi pinjaman dan penjaminan, serta skema investasi yang baru.
“Kondisi BUMN terkini makin menegaskan perlunya perubahan paradigma pengelolaan, cara pengelolaan, kejelasan status hukum, pertanggungjawaban publik, dan hal terkait lainnya. Kondisinya justeru membebani perekonomian dan fiskal pemerintah,” pungkas Awalil dalam ulasannya. [rif]