Menyajikan buku sebagai menu utama di tengah keluarga akan berbenturan dengan kebutuhan informasi yang terpapar di gadget. Gadget tidak lagi sebatas alat komunikasi. Gadget menjadi piranti pintar, di mana semua kebutuhan kita terlayani. Sementara buku, acap terlempar dan memang sekadar mengada sebagai asupan jiwa.
Lantas bagaimana? Begini, pelan-pelan gadget mesti kita tempatkan sebagai piranti saja. Tetap sebagai alat, bukan bagian dari diri. Bukan sesuatu yang wajib melekat, bak bawaan lahir. Gadget adalah gadget, alat yang membantu berkomunikasi dan menyadap informasi serta menambah pengetahuan. Jadi, fungsinya sebagai menu tambahan, bukan utama.
Beda dengan buku, yang berperan sebagai menu utama untuk menumbuhkan jiwa, agar bisa menjadi kaca yang terang buat aktualisasi roh atau ego. Jika kaca buram, buram pula sang self, sang aku, sang ego. Selanjutnya, individualitas kita redup. Kedirian tidak jelas, sebab jiwa kelaparan.
Singkatnya, literasi keluarga dalam hal ini menggiatkan baca buku di keluarga saya maknai sebagai gerakan spiritual. Lantaran membaca buku, jiwa kita terang. Dan, dari jiwa yang terang niscaya sanggup memancarkan sang terang. Sang Aku yang merupakan tajali Tuhan, persis tetes embun yang sanggup memercikkan cahaya mentari pagi. Begitu.[Luk]