4. Untuk menentukan keabsahan keislaman seseorang, Al Bagillani mensyaratkan terlebih dahulu pengakuar terhadap keesaan Allah (tauhid) sebelum mengakui risalah.
5. Kesimpulan yang dapat diambil dari hadits di atas adalah bahwa pemahaman makna umum sunnah Rasul, dapat dikhususkan dengan arti tekstual! Al-Qur’an.
Arti hadits secara umum menyatakan bahwa orang yang melaksanakan semua hal yang disebutkan, maka Islamnya sah.
Sebaliknya orang yang tidak melaksanakan semua yang disebutkan, maka Islamnya tidak sah. Pemahaman ini dikhususkan dengan firman Allah surah Ath-Thur ayat 21:
وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, dan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan.” (Os. Ath-Thur (52): 21)
6. Dalam hadits di atas, Imam Bukhari lebih dahulu menyebutkan haji dari pada puasa. Namun pada hadits Imam Muslim dari riwayat Sa’ad bin Ubaidah dari Ibnu Umar, puasa disebutkan lebih dahulu daripada haji.
Seseorang berkata, “Haji dan puasa Ramadhan,” lalu Ibnu Umar berkata, “Tidak, puasa Ramadhan dan haji.”
Ini menunjukkan bahwa hadits riwayat Handhalah yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari merupakan hadits bil makna, yaitu hadits yang diriwayatkan berdasarkan maknanya, bukan berdasarkan lafazh yang diriwayatkan dari Rasulullah.
Hal ini bisa jadi: disebabkan beliau tidak mendengar sanggahan Ibnu Umar pada hadits di atas, atau karena ia lupa.
Kemungkinan ini lebih tepat dibandingkan pendapat yang menyatakan bahwa Ibnu Umar mendengar hadits tersebut dari Rasul dua kali dalam bentuk yang berbeda, namun beliau lupa salah satu dari kedua hadits tersebut ketika memberikan sanggahan kepada pernyataan seseorang dalam hadits di atas tadi.
Sebenarnya adanya hadits yang diriwayatkan secara berbeda menunjukkan bahwa matan hadits tersebut disampaikan secara maknawi.
Pendapat ini juga dikuatkan adanya tafsir Bukhari yang lebih mendahulukan lafazh puasa dari pada zakat. Apa mungkin para sahabat mendapatkan hadits ini dalam tiga bentuk? Hal ini mustahil terjadi,
Wallahu A ‘lam.
Sumber: Ibnu Hajar Al-Asqalani, “Fathul Baari (Penjelasan Kitab Shahih Al Bukhari).”