Scroll untuk baca artikel
Opini

Harap Tetap Tenang, Ujian Belum Berlalu

Redaksi
×

Harap Tetap Tenang, Ujian Belum Berlalu

Sebarkan artikel ini
Oleh: Fatkhurrahman

Sikap tenang bisa jadi membuat manusia mengambil keputusan rasional. Sikap tenang banyak menolong agar tidak grusa-grusu dalam mengambil tindakan. Hal yang lumrah juga, jika kita sudah merasa berpengalaman dan berpengetahuan lalu berusaha meyakinkan orang lain untuk berlaku serupa.

Saya pernah mengalami situasi kepanikan dan mendapatkan banyak telepon ke kantor kala terjadi bencana gempa bumi yang meluluhlantakan Bantul kala itu. Bekerja di sebuah radio swasta yang alhamdulillah masih bisa menyala kala terjadi bencana.

Tiap kali menerima telepon, di ujung sana selalu terdengar nada kegelisahan, pertanyaan dan kepanikan berkait simpang siurnya informasi yang beredar. Bahkan, saat ada isu ancaman tsunami melanda kota, bos radio sampai menelpon juga, “Itu air sudah sampai ke sungai dekat kantor, tolong di cek.”

Dongkol juga menerima perintah demikian, sebab saya tahu air sungainya ada tapi mengalirnya ke laut. Waktu itu saya jawab, iya pak nanti saya cek. Nah, karena lokasi sungai memang dekat kantor, segera saya lihat kondisi sungai. Tepat seperti perkiraan ada aliran sungai, airnya masih tetap ke selatan menuju laut. Saya terkekeh menyadari hal ini.

Di luar itu ada banyak pertanyaan soal ke mana harus membawa korban, rumah sakit mana yang masih bisa melayani perawatan korban. Bisakah memberikan info bagaimana mendapatkan obat-obatan yang diperlukan hingga pertanyaan hilangnya anggota keluarga yang mengungsi akibat isu tsunami yang menambah kepanikan, setelah gempa besar terjadi.

Ada juga telepon dari tim penolong asal luar kota yang bertanya berkaitan lokasi tempat terparah dan tujuan titik desa yang perlu dibantu.

Bisa dibayangkan, betapa banyak pertanyaan yang harus dijawab. Dalam waktu singkat, saya mendapat pengetahuan baru, bagaimana menjadi call center yang baik. Saat saya benar-benar tidak tahu, ya menyampaikan hal itu dengan apa adanya sembari memberikan rekomendasi institusi yang bisa dihubungi.

Berikutnya, dengan pengetahuan soal ancaman gempa bumi yang didapatkan ahli kebencanaan, tiap kali ke lapangan untuk update informasi selalu berusaha berbagi ilmu ke setiap orang yang ditemui. Hingga satu waktu, kala bertemu keluarga yang masih mengungsi di bawah tenda darurat hal yang sama saya sampaikan.

“Tetap tenang ya pak, ibu. Kalau ada gempa tak perlu panik. Biasa saja.”

Eeee, di saat bersamaan ada gempa mengguncang. Saya sontak segera lari menjauh, lalu kembali ke tenda ketika gempa berhenti. Begitu kembali ke tenda saya langsung digugat oleh pengungsi.

Lho kok mlajeng njenengan wau, wonten gempa“. Kenapa lari tadi, pas ada gempa.

Saya menjawab sambil terkekeh, “Refleks je pak, ibu..”

Di tempat lain, ketika bertemu dengan korban yang kehilangan anggota keluarga dan rumah yang hancur, alih-alih mendapatkan suasana sedih, malah menemui sikap berbeda.

Diceritakanlah peristiwa kejadian bagaimana atap rumah runtuh seketika dan dirinya tak bisa ke mana-mana. Ia selamat meski rumah roboh.

“Untungnya meski rumah saya roboh, nyawa saya masih selamat.”

Berjarak dari peristiwa memilukan dan bikin trenyuh itu, hadirlah sebuah film pendek yang dibuat sineas muda dan jadi juara kompetisi festival. Idenya sederhana berkisah soal anak sekolah di tengah situasi bencana. Judulnya, “Harap Tenang Ada Ujian”.

Di film itu tergambar, bagaimana orang Jepang yang dipahami anak-anak sebagai penjajah dalam sejarah lalu ditemui hadir di desanya usai bencana terjadi dan menghancurkan infrastruktur desa. Di sinilah terjadi ketidaktahuan dan kesalahpahaman.

Tokoh utama anak-anak ini dikisahkan hendak melawan penjajah yang datang seperti yang dilakukan pahlawan di masa lalu. Di akhir cerita, ditunjukan rombongan penolong itu datang ke sekolah.