Scroll untuk baca artikel
Edukasi

Hari Buku, Apakah Sudah Menjadi Kebutuhan?

Redaksi
×

Hari Buku, Apakah Sudah Menjadi Kebutuhan?

Sebarkan artikel ini

SAYA ingin bertanya, berapa rupiah Anda sisikan untuk membeli buku. Saya yakin pasti Anda berupaya menyisakan uang untuk dapat membelinya. Setiap bulannya saya yakin pastinya Anda mengeluarkan biaya. Baik digunakan untuk biaya sekolah, makan maupun jajan atau bahkan untuk membeli pulsa dan kuota internet.

Lain lagi dengan perokok seperti aku ini, pasti ada biaya tambahan untuk membeli rokok tersebut. Aku sempat berpikir, jika pulsa dan rokok bisa menjadi kebutuhan mengapa buku tidak bisa menjadi kebutuhan. Dari berpikir inilah saya memutuskan membeli buku menjadi sebuah kebutuhan.

Maka aku berinisiatif untuk membeli buku setiap bulannya minimal satu, kalaupun tidak bisa minimal mampu membeli majalah ataupun bulletin yang seharga lima ribu rupiah. Sebab harga buku sekarang, untuk harga satu buku bisa menelan anggaran dua puluh ribu. Coba pikirkan, Anda membeli pulsa atau kuota internet, saya yakin satu bulan bisa menelan anggaran dua puluh ribu lebih. Tentu seharusnya bisa memberikan anggaran untuk satu buku.

Dari membeli buku inilah, mulai ada inspirasi untuk menekuni dunia tulis menulis. Meski aku pribadi hingga saat ini belum pernah mengikuti training jurnalistik. Namun pernah mengadakan kegiatan training jurnalistik dan menjadi pembicara training jurnalistik. Itu hanya karena buku, mengapa buku?

Setiap kali ingin membaca buku, halaman pertama yang aku buka profil pengarang buku tersebut. Dari profil pengarang tersebut membuatku semakin mantap untuk menekuni dunia tulis menulis. Dalam benakku berkata, ia bisa aku pun harus bisa.

Sehingga aku belajar membuat tulisan meski sederhana dalam lembaran kertas putih. Dalam setiap lembaran yang telah terisi dengan coretan itu, lalu aku simpan. Ternyata motivasi tertinggi datangnya dari diri sendiri yang di dorong oleh lingkungan kita. Jika kita berkumpul dengan seseorang yang suka dunia tulis menulis, maka sedikitnya kita akan mendapatkan pancaran cahayanya.

Kisah

Kisah ini aku dapatkan ketika kuliah menginjak membuat skripsi, aku berkeinginan skripsiku bisa menjadi yang terbaik. Allah telah memberikan jalannya sehingga tepat ketika aku mengerjakan skripsi, aku diamanahi untuk menjadi pimpinan redaksi bulletin bersuara, yang memiliki banyak anggota. Namun kebanyakan anggota itu hanya sekedar ikut training jurnalistik, tanpa bisa menelurkan hasil karyanya.

Maka akupun termotivasi, meski tidak ikut training jurnalistik aku harus mampu membuat karya, kata hatiku. Aku ingin membuktikan kepada mereka, bahwa aku bisa. Sehingga aku mulai menulis dan mengirimkannya ke media. Dan ternyata hal itu dapat terwujud, hingga para anggota kini sangat menghargai dan menghormatiku. Meski skripsiku akhirnya tidak menjadi yang terbaik, namun aku bisa berbangga diri sebab prolog skripsiku dimuat di media masa. Prolog skripsi itulah tulisan ilmiah pertamaku.

Bagaimana dengan buku yang aku kumpulkan setiap bulannya, selama hampir empat tahun buku yang telah aku kumpulkan. Ternyata ada yang berminat, sehingga empat kardus berisi buku lenyap seketika. Mungkin jika di total dengan rupiah, tentu bernilai jutaan rupiah. Sedangkan buku yang pernah aku beli paling mahal yakni sejumlah dua ratus lima puluh ribu, itu waktu masa kuliah.

Dari kehilangan itulah, aku semakin ingin memiliki karya pribadi yang tidak hanya di konsumsi sendiri. Meski tulisan jelek dan kurang rapi, aku mulai membuat blog dan mengirimkannya ke media-media lain.

Buku adalah guruku, kataku.

Karena dari situlah aku belajar merangkai kata, dari situlah aku mendapatkan beragam pengetahuan dan dari situlah aku ingin buktikan bahwa aku bisa menjadi penulis seperti mereka.