JUDUL itu sekilas seperti menistakan kiai. Tetapi judul itu saya catut dari buku yang sangat ilmiah dengan judul “Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan”. Malah Judul dalam versi bahasa Inggris sangat keren “Struggling for the Umma: Changing Leadership Roles of Kiai in Jombang, East Java”
Buku karya Dr. Endang Turmudi yang diterbitkan LKiS Yogyakarta pada Februari 2004 itu kembali saya baca karena sangat aktual dengan isu mutakhir terutama setiap menjelang pemilu.
Setiap menjelang pemilu kiai menjadi ‘rebutan’ caleg, capres dan juga partai politik. Kiai adalah legitimasi yang mangkus dan sangkil untuk mendongkrak suara dan elektabilitas.
Setiap menjelang pemilu intensitas elite politik mengunjungi pesantren atau sowan kepada kiai cukup tinggi. Kondisi itu tentu saja berbeda dalam situasi normal.
Posisi kiai memang sangat penting dalam percaturan politik nasional. Ini diakui bukan hanya sekarang saja di era reformasi tetapi juga dahulu di masa rezim Orde Baru. Posisi seorang kiai memang penting karena ia mempunyai otoritas dan memiliki banyak umat. Karena itu dalam pandangan instan elite politik, kiai adalah aset pengumpul suara atau vote gaters.
Buku Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan sangat aktual untuk memotret peran politik kiai di era sekarang ini.
Buku yang meneropong pasang surut perpolitikan kiai ini dapat menjadi bahan rujukan untuk melihat peran kiai dalam pemilu sekarang,. Kendati hanya meneliti peran kiai di Jombang, Jawa Timur, namun diyakini hasilnya adalah representasi dari peran kiai Nahdlatul Ulama di daerah lain.
Dr. Endang Turmudi yang sehari-hari bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) sekarang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), memberikan alasan penelitiannya dilakukan di Jombang. Pertama, hubungan antara kiai dan masyarakat sangat kuat dan menjadi karakter khusus kehidupan umat Islam di Jombang. Di sana kiai menempati posisi yang terhormat. Kedua, Islam di Jombang telah dan hingga tingkat tertentu masih mengakar dalam kehidupan masyaralat. Ini akibat dari kehadiran pesantren di sana yang memang sudah lama. Bahkan Jombang disebut-sebut sebagai “Kota Santri”.
Melalui pesantren yang dimilikinya para kiai mempunyai peran penting dalam menanamkan nilai-nilai dan norma-norma Islam dalam kehidupan masyarakat Jombang. Ketiga, umat Islam di Jombang mempunyai akses pada kehidupan sosial politik bangsa yang lebih luas karena mereka mempunyai tokoh-tokoh dengan reputasi nasional. Beberapa kiai dari Jombang adalah para pemimpin nasional baik di NU, PPP atau di era sekarang ini banyak juga yang bergabung di Partai Kebangkitan Bangsa.
Peran kiai dalam kancah politik nasional sempat menyurut sejak NU mengeluarkan kebijakan “kembali ke khittah”. Namun, sebagian kalangan menyebut, penyebab kiai mundur dari ruang politik sebenarnya akibat para kiai tergusur dari PPP, saat partai itu dipimpin J. Naro. Namun, seiring reformasi yang ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto, peran politik kiai kembali terbuka. Ini bisa ditandai dengan munculnya PKB yang disokong penuh kiai NU. Mencoloknya perolehan suara PKB dalam Pemilu 2004 misalnya dapat juga menandai kebangkitan kiai NU. Bahkan suara PKB secara nasional 60 persennya dipasok dari Jawa Timur yang menjadi basis nahdliyin.
Selain berpolitik langsung melalui partai, para kiai juga dalam mengembangkan otoritasnya banyak yang lebih memilih mengadu tawar dengan penguasa atau elite tertentu. Praksis mereka adalah menjadi pelegitimasi kekuasaan. Kiai dan penguasa berkolaborasi dan saling tawar hingga kedua pihak merasa saling diuntungkan. Dari perspektif pemerintah, kekuasaan kiai cukup kuat untuk mempengaruhi tindakan sosial-politik masyarakat. Hal ini karena para kiai adalah pemegang legitimasi keagamaan. Legitimasi kiai ini oleh pemeritah atau para elite politik dapat digunakan untuk melegalkan tindakan-tindakan duniawi mereka (hal. 264).