Bagaimana dengan buku yang aku kumpulkan setiap bulannya, selama hampir empat tahun buku yang telah aku kumpulkan. Ternyata ada yang berminat, sehingga empat kardus berisi buku lenyap seketika. Mungkin jika di total dengan rupiah, tentu bernilai jutaan rupiah. Sedangkan buku yang pernah aku beli paling mahal yakni sejumlah dua ratus lima puluh ribu, itu waktu masa kuliah.
Dari kehilangan itulah, aku semakin ingin memiliki karya pribadi yang tidak hanya di konsumsi sendiri. Meski tulisan jelek dan kurang rapi, aku mulai membuat blog dan mengirimkannya ke media-media lain.
Buku adalah guruku, kataku.
Karena dari situlah aku belajar merangkai kata, dari situlah aku mendapatkan beragam pengetahuan dan dari situlah aku ingin buktikan bahwa aku bisa menjadi penulis seperti mereka.
Kini dorongan untuk menulis muncul lagi semenjak aku memiliki anak putri. Aku ingin ajarkan kepada anakku pentingnya buku, yakni dengan membaca dan menulis.
Aku berfikir sejenak tentang dunia anak. Saat di kandungan bayi lebih mengedepankan pendengaran. Maka pola pembelajaran yang pertama yakni melalui pendengaran. Lalu ketika sudah lahir, ia mulai belajar tahap dua yakni bergerak. Tahap ketiga si anak mulai belajar berbicara.
Dari seorang putri itulah aku menemukan inspirasi baru untuk mengajarkan anakku asyiknya dunia menulis. Ternyata selama ini sebenarnya kita ketika sekolah selalu diajari dunia menulis. Namun ketika masa kuliah, cenderung lebih mengedepankan aspek bicara. Sehingga tidak mampu menelurkan hasil karya berupa tulisan.
Anakku telah mengajariku, pada tahap kedua yakni bergerak. Maka ketika ia bisa memegang, aku sodori ia untuk memegang alat tulis, meski belum genap berumur satu tahun. Ternyata ia bisa membuat karya. Kenapa aku tidak, pikirku.
Dua hal yakni buku dan putriku telah menginspirasi dan memotivasi diriku untuk bisa membuat karya berupa tulisan.