Scroll untuk baca artikel
Kolom

Hari Hari Sulit Bersama Sakana

Redaksi
×

Hari Hari Sulit Bersama Sakana

Sebarkan artikel ini

Kedua ayat ini secara nyata menuntut kepada umat Islam untuk melakukan perubahan menuju tatanan yang lebih baik.  Perubahan itu dapat dilakukan secara sendiri-sendiri ataupun terorganisir bahkan kalau perlu harus diorganisir oleh pihak lain.  Pada konteks merubah serta mengorganisir si miskin, amil ZIS memiliki mandat khusus untuk hal tersebut.  Mandat tersebut langsung diberikan  oleh Allah SWT. 

Sekali lagi Al Quran secara tegas memerintahkan untuk menangani si miskin ini secara serius.  Bahkan Allah secara terang benderang menunjuk amil untuk mengurus si miskin melalui tata kelola ZIS.  Saking beratnya mengurus si miskin Allah memerintahkan agar amil ZIS diberi bagian dari harta ZIS sebesar 12,5 % dari seluruh total ZIS yang telah ia kumpulkan.  Bahkan oleh Allah amil diberi kewenangan untuk mengambil atau menarik harta zakat dari para muzaki.

Pada tingkatan yang paling sederhana, mengelola zakat bukan hanya sebatas memiliki daftar wajib zakat dan daftar penerima zakat namun tentu saja lebih jauh daripada itu.  Dalam hal menemukan si kaya tentulah tidak sesulit menemukan si miskin. 

Bahkan ketika si miskin sudah ditemukan, amil tidak lantas selesai tugasnya dengan memberinya bagian dari harta zakat.  Tetapi ia harus mendiagnosis penyebab kemiskinannya.  Selanjutnya tugas amil zakat adalah mendorong si miskin agar dapat keluar dari kubangan lumpur kemiskinannya.  Bahkan amil zakat harus memiliki kemampuan untuk mendorong adanya pro poor budget pada sistem dan postur penganggaran pemerintah.

Lalu bagaimanakah cara menemukan si miskin? Analisis Kemiskinan Partisipatif (AKP) adalah sebuah metode sederhana untuk menemukan si miskin sekaligus menjadikannya sebagai subjek perubahan.

Pada galibnya memanglah sangat sulit untuk menemukan dan mendengarkan suara si miskin.  Selain karena terhalang oleh sekat psikologis juga menyangkut kehormatan (martabat) seseorang atau keluarga juga menyangkut permasalahan-permasalahan preferensi yang kompleks.  Padahal kita semua tahu bahwa sangat penting untuk menemukan dan mendengar suaranya, baik karena alasan etis-normative ataupun alasan  demi terwujudnya tatanan perikehidupan yang lebih bekeadilan.     

Kita semua mafhum bahwa kemiskinan adalah situasi jerit-derita, sedih, pedih dan menjadikannya putus asa. Rasa putus asa itu mengikuti hari demi hari kehidupan si miskin, melewati mingu-minggu, dan mungkin berbulan-bulan.

Menghadapi situasi ini, yang diperlukan haruslah lebih dari sekedar pemahaman atas si miskin atau peristiwa kemiskinan, tetapi harus ada penyingkapan realitas. Ketika si miskin menemukan teman bicara, kemudian mengembangkan kemauan dan kemampuannya untuk menyingkap realitas kemiskinan yang sesungguhnya dialami, maka disanalah ada harapan untuk melawan banyak masalah yang menjadikan berasa putus asa tersebut.

Memahami situasi kemiskinan yang demikian, jelas dibutuhkan kemampuan dan metode yang menghendaki peristiwa kemiskinan itu dipersepsi dan kemudian dimaknakan sebagai realitas-realitas sebagaimana dipahami dan diyakini oleh si miskin itu sendiri (sebagai aktor-aktor sosial sesungguhnya). Karena kemiskinan itu sendiri tidak saja termanifestasi sebagai gejala yang kasat mata saja tetapi juga yang tidak kasat mata (alam simbolis). 

Di sinilah muncul beban, bahwa praktek analisis kemiskinan partisipatif bukanlah memfasilitasi proses “belajar tentang orang miskin”,  tetapi “belajar dari si miskin” untuk menemukan dan memperoleh gambaran-gambaran yang lebih utuh tentang kemiskinan yang sesungguhnya.  Dengan begitu, analisis kemiskinan partisipatif mengharuskan adanya moral, prinsip, dan metode yang bersandar pada penghormatan hak dan pelibatan secara sungguh-sungguh dari para subyek kaum miskin.