Tahun lalu, Hyundai Motor Group dikecam karena standar lingkungannya tidak konsisten dalam lini bisnis.
BARISAN.CO – Sebuah studi BloombergNEF mengungkapkan, pasar kendaraan listrik global akan tumbuh dalam jangka panjang. Laporan itu menunjukkan, kendaraan listrik (EV) saat ini menyumbang 3% dari penjualan mobil di seluruh dunia.
Diperkirakan, tahun 2025, akan mencapai 10% dari penjualan kendaraan penumpang global, tumbuh menjadi 28% di tahun 2030, dan 58% pada 2024. Pasar kendaraan listrik berkembang pesat karena pelanggan mencari alternatif yang lebih ramah lingkungan.
Sementara, dalam rangka memeriahkan KTT G20, Kementerian Koperasi dan UKM bersama Kementerian Perhubungan menggelar Pameran Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (PKBLBB) di Art Bali, Bali Collection, Nusa Dua Bali.
Acara tersebut diselenggarakan pada 11-16 November. Pameran itu juga bagian dari SMEs Village sebagai side event G20 dari Kementerian Koperasi dan UKM.
Berbagai produsen yang turut berpartisipasi termasuk Hyundai. Tahun lalu, Hyundai Motor Group dikecam karena standar lingkungannya tidak konsisten dalam lini bisnis. Di satu sisi beralih ke kendaraan listrik, di sisi lainnya, afiliasi konstruksinya sedang membangun pembangkit listrik tenaga batu bara di Vietnam.
The Korea Times melaporkan, Hyundai Engineering & Construction (E&C) menandatangani kontrak pada bulan Juni 2021 untuk membangun Quang Trach 1. Itu adalah pembangkit listrik tenaga batu bara 1.200 megawaat di Vietnam dalam sebuah konsorsium dengan Mitsubishi Jepang dan pembangun yang dikelola Vietnam.
Dalam iklan yang diterbitkan Financial Times, kelompok lingkungan Market Forces mengecam Hyundai Motor dan Hyundai E&C karena standar lingkungannya tidak konsisten. Mereka menuntut agar proyek pembangkit listrik tenaga batu bara dibatalkan.
“Hyundai mempromosikan mobil listrik sadar iklim sambil tetap membangun batu bara yang kotor. Hyundai tidak bisa mengklaim berkelanjutan sambil tetap membangun pembangkit listrik tenaga batu bara yang kotor,” kata iklan Market Forces.
Iklan tersebut menampilkan model IONIQ Electric Hyundai dengan kata “IRONIC” tertulis di plat nomornya. Kelompok lingkungan mendesak Hyundai E&C menarik diri dari proyek pembanguann tersebut.
Menyusul perselisihan tersebut, unit konstruksi Hyundai berencana menghentikan bisnis terkait batu bara, tetapi menyampaikan, tetap melanjutkan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara di Vietnam.
Yoon Se-jong, pengacara di Solutions for our Climate mengatakan, pernyataan Hyundai itu dianggap sebagai cara menghindari kritik.
“Jika Hyundai E&C ingin menghindari kritik bahwa kebijakan penghentian penggunaan batu bara untuk menutup-nutupi kontroversi seputar Quang Trach 1, perlu mempertimbangkan kembali proyek tersebut dari awal,” jelasnya.
Namun, tak sampai di situ. Tuduhan greenwashing lainnya yaitu pada 9 Mei lalu, kurang dari dua minggu setelah Hyundai Motor dan afiliasinya bergabung dalam gerakan RE100, sebuah inisiatif global yang berkomitmen mencapai 100% penggunaan energi terbarukan, perusahaan itu menyampaikan, akan membangun pembangkit listrik gas alam cair (LNG) skala besar di fasilitas pabrik manufaktur andalannya di Ulsan, Korea Selatan. Hyundai Motor, Kia, Hyundai Mobis, dan Hyundai Wia berkomitmen menjadi netral karbon pada 2050.
Melansir Eco-Business, pabrik 184 megawatt yang diproyeksikan memasok 70% tenaga yang dibutuhkan Hyundai dalam menjalankan basis produk kendaraan utamanya di Korea, dijadwalkan akan beroperasi pada 2025. Pembangkit ini menjadi alternatif Hyundai untuk membantu Korea mengurangi emisi karbon dan memenuhi target iklim nasional karena gas alam kurang intensif daripada bahan bakar fosil lainnya.
Selain itu, Hyundai menyampaikan, sulit mendapatkan energi terbarukan di Korea dan kilang LNG dapat diubah menjadi ibukilang hidrogen di masa mendatang guna membantu mengurangi emisi lebih lanjut.
Climate Group, organisasi nirlaba di balik RE100 mengaku tidak tahu-menahu soal rencana Hyundai tersebut. Sedangkan, koalisasi organisasi non-pemerintah, termasuk Greenpeace Korea, Friends of the Earth Korea, dan Youth4ClimateAction menjelaskan, rencana pabrik gas Hyundai bertentangan dengan misi RE100.
“Rencana fosil baru menunjukkan tujuan Hyundai untuk bergabung dengan inisiatif global tidak lebih dari greenwashing. Untuk memoles reputasi perusahaan agar berkelanjutan,” kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan.
Kelompok itu mencatat, gas alam akan berperan sebesar investasi batu bara baru yang memperburuk perubahan iklim jika semua proyek gas global yang direncanakan berjalan dan Hyundai mungkin akan menghasilkan lebih banyak karbon dari pabrik gasnya sendiri selama kira-kira 25 tahun ketimbang jika memperoleh listrik langsung dari jaringan nasional.
Ditambahkan juga, pabrik Ulsan akan mempersulit pencapaian tujuan iklim domestik dan global. Korea menargetkan mencapai net zero pada 2050. Akan tetapi, keputusan Hyundai itu sama dengan menentang laporan Badan Energi Internasional tahun lalu yang menyoroti peran metana, yang dilepaskan saat gas diproduksi dan diangkut dan itu mempercepat perubahan iklim.
Pabrik itu juga berisiko menjadi aset terdampar, kelompok itu mengingatkan volatilitas harga LNG dan jatuhnya biaya energi terbarukan.
Kelompok itu melanjutkan, pada saat Hyundai menyelesaikan pembangkit listrik LNG pada 2025, fasilitas tenaga surya dengan kapasitas penyimpanan baterai diharapkan lebih murah dari pembangkit gas baru.
Kelompok tersebut telah mendesak Hyundai membatalkan rencana pabrik Ulsan itu.