Namun, tak sampai di situ. Tuduhan greenwashing lainnya yaitu pada 9 Mei lalu, kurang dari dua minggu setelah Hyundai Motor dan afiliasinya bergabung dalam gerakan RE100, sebuah inisiatif global yang berkomitmen mencapai 100% penggunaan energi terbarukan, perusahaan itu menyampaikan, akan membangun pembangkit listrik gas alam cair (LNG) skala besar di fasilitas pabrik manufaktur andalannya di Ulsan, Korea Selatan. Hyundai Motor, Kia, Hyundai Mobis, dan Hyundai Wia berkomitmen menjadi netral karbon pada 2050.
Melansir Eco-Business, pabrik 184 megawatt yang diproyeksikan memasok 70% tenaga yang dibutuhkan Hyundai dalam menjalankan basis produk kendaraan utamanya di Korea, dijadwalkan akan beroperasi pada 2025. Pembangkit ini menjadi alternatif Hyundai untuk membantu Korea mengurangi emisi karbon dan memenuhi target iklim nasional karena gas alam kurang intensif daripada bahan bakar fosil lainnya.
Selain itu, Hyundai menyampaikan, sulit mendapatkan energi terbarukan di Korea dan kilang LNG dapat diubah menjadi ibukilang hidrogen di masa mendatang guna membantu mengurangi emisi lebih lanjut.
Climate Group, organisasi nirlaba di balik RE100 mengaku tidak tahu-menahu soal rencana Hyundai tersebut. Sedangkan, koalisasi organisasi non-pemerintah, termasuk Greenpeace Korea, Friends of the Earth Korea, dan Youth4ClimateAction menjelaskan, rencana pabrik gas Hyundai bertentangan dengan misi RE100.
“Rencana fosil baru menunjukkan tujuan Hyundai untuk bergabung dengan inisiatif global tidak lebih dari greenwashing. Untuk memoles reputasi perusahaan agar berkelanjutan,” kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan.
Kelompok itu mencatat, gas alam akan berperan sebesar investasi batu bara baru yang memperburuk perubahan iklim jika semua proyek gas global yang direncanakan berjalan dan Hyundai mungkin akan menghasilkan lebih banyak karbon dari pabrik gasnya sendiri selama kira-kira 25 tahun ketimbang jika memperoleh listrik langsung dari jaringan nasional.
Ditambahkan juga, pabrik Ulsan akan mempersulit pencapaian tujuan iklim domestik dan global. Korea menargetkan mencapai net zero pada 2050. Akan tetapi, keputusan Hyundai itu sama dengan menentang laporan Badan Energi Internasional tahun lalu yang menyoroti peran metana, yang dilepaskan saat gas diproduksi dan diangkut dan itu mempercepat perubahan iklim.
Pabrik itu juga berisiko menjadi aset terdampar, kelompok itu mengingatkan volatilitas harga LNG dan jatuhnya biaya energi terbarukan.
Kelompok itu melanjutkan, pada saat Hyundai menyelesaikan pembangkit listrik LNG pada 2025, fasilitas tenaga surya dengan kapasitas penyimpanan baterai diharapkan lebih murah dari pembangkit gas baru.