Bukannya mengurangi penyebab kotor udara ibu kota, pemerintah justru merencanakan penambahan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru di sekitar Jabodetabek (Merak, Suralaya, Labuan, Lontar, Cikarang, Pelabuhan Ratu) untuk memasok kebutuhan listrik di Jawa-Bali. Rencananya akan ada empat PLTU baru atau setara tujuh unit pembangkit. Sementara yang sudah beroperasi ada delapan PLTU atau setara 22 unit.
Berdasarkan pemetaan yang dilakukan Walhi bersama Greenpeace pada 2017 silam, diketahui setidaknya terdapat 10 PLTU berbahan bakar batu bara yang tercatat menyumbang polusi di Jakarta.
Mereka adalah PLTU Lestari Banten Energi berkapasitas 670 MW, PLTU Suralaya unit 1-7 berkapasitas 3400 MW, PLTU Suralaya unit 8 berkapasitas 625 MW, PLTU Labuan unit 1-2 berkapasitas 600 MW, dan PLTU Merak Power Station unit 1-2 berkapasitas 120 MW.
Kemudian PLTU Lontar unit 1-3 berkapasitas 945 MW, PLTU Lontar Exp berkapasitas 315 MW, PLTU Babelan unit 1-2 berkapasitas 280 MW, PLTU Pindo Deli dan Paper Mill II berkapasitas 50 MW, serta PLTU Pelabuhan Ratu unit 1-3 berkapasitas 1050 MW.
Setidaknya ada empat PLTU berbahan bakar batu bara yang dalam tahap pembangunan hingga saat ini, yaitu PLTU Asahimas Chemical unit 1-2 berkapasitas 300 MW, PLTU Jawa-7 berkapasitas 2.000 MW, PLTU Jawa-9 atau Banten Exp. berkapasitas 1.000 MW, serta PLTU Jawa-6 atau Muara Gembong berkapasitas 2.000 MW.
Keberadaan PLTU tersebut, menurut Walhi dan Greenpeace menyumbang 20-30% polusi udara di Jakarta.
Data itu diperkuat dengan laporan yang dirilis oleh CREA (Centre for Research on Energy and Clean Air). Dalam laporannya terungkap, sumber emisi tidak bergerak, seperti PLTU Batu Bara, pabrik, dan fasilitas industri lainnya yang berada di Jawa Barat dan Banten itu terbawa angin hingga ke Jakarta.
CREA melakukan pemodelan atmosferik terperinci tentang penyebaran pencemar dari pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara di sekitar kota. Dengan mengembangkan data meteorologi 3 dimensi untuk setiap jam tahun pemodelan (2014), termasuk kecepatan angin, arah, kelembaban, suhu, stabilitas atmosferik, dan variabel terkait lainnya menggunakan model meteorologi TAPM yang dikembangkan oleh lembaga ilmu pengetahuan nasional Australia CSIRO.
CREA kemudian menggunakan model penyebaran CALPUFF, model jangka panjang yang paling banyak digunakan di dunia, untuk mensimulasikan pencemaran dari pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara.
Model ini melacak penyebaran pencemaran, transformasi kimia, dan deposisi di atmosfer untuk menilai dampak sumber yang dimodelkan pada kualitas udara di seluruh area pemodelan.
Pemodelan TAPM/CALPUFF untuk konsentrasi permukaan pencemar yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara menunjukkan, bahwa sumber emisi besar dalam radius 100 km dari Jakarta berdampak signifikan pada kualitas udara Jakarta.
Gambar Konsentrasi NO2, SO2 dan PM2.5 di Jakarta di ‘hari terburuk’ pencemaran. Sumber: Publikasi CREA berjudul “Jakarta Transboundary Pollution”.
Gambar di atas menunjukkan contoh-contoh penyebaran pencemaran terburuk di Jakarta, ketika masa udara tiba di kota dari zona industri Suralaya, di mana lima PLTU Batubara besar berada.
Konsentrasi pencemar PM2.5 (paling kanan pada gambar) yang disebabkan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, dalam hal ini, lebih tinggi di DKI Jakarta daripada di Banten.
Hal ini sebagian disebabkan oleh transformasi banyak emisi SO2 dan NOx dari pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara di Banten—di mana kedua pencemar tersebut paling terkonsentrasi (gambar tengah dan paling kiri pada gambar di atas)—menjadi PM2.5 sekunder ke arah angin berhembus dan lebih dekat ke Jakarta. []