Meyfitha Dea Khairunnisa, penulis studi tersebut mengatakan, itu adalah bentuk eco-imperialism karena Uni Eropa dapat menggunakan bahan baku dari sember daya yang terbaik, sehingga produk yang dihasilkan kemungkinan besar dapat melewati standarisasi perdagangan yang mereka buat.
“Sementara, bahan baku yang digunakan industri di Indonesia merupakan bahan baku bekas dan bukan dengan kualitas terbaik. Bahkan, dari bahan baku tersebut bisa jadi ada beberapa bagian yang tidak dapat dimanfaatkan dalam industri,” katanya.
Ditambahkan juga, ekspor sampah sebagai pergeseran tanggub jawab moral termasuk pengurangan emisi karbon.
“Dengan melakukan ekspor sampah, Uni Eropa membiarkan Indonesia mengalami peningkatan karbon dioksida, baik dari sektor industri maupun sektor rumah tangga. Apalagi, Indonesia belum memiliki kebijakan ketat mengenai permasalahan sampah,” terangnya.
Indonesia hampir tidak mampu mengatasi limbahnya sendiri. Sehingga, impor sampah ini akan memperburuk kondisi. Bank Dunia, bahkan memperkirakan seperlima dari sampah plastik di tanah air berakhir di sungai dan perairan pesisir.
Mantan Sekretaris Belanda Bidang Infrastruktur dan Pengelolaan Air, Stientje Van Veldhoven di G20 tahun 2019 telah menyerukan penghentian ekspor sampah plastik. Menurutnya, negara Barat seharusnya mengolahnya sendiri ketimbang mengirimnya dengan perahu ke belahan dunia lain.
Dengan tidak berhentinya ekspor sampah plastik seperti ini, maka negara Barat terus membebani negara lain dengan masalah sampah dan itu bagian bentuk eksploitasi, dalam hal ini adalah eco-colonialism.