Berita

Indonesia Kecanduan Impor Kedelai

Anatasia Wahyudi
×

Indonesia Kecanduan Impor Kedelai

Sebarkan artikel ini

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022, Indonesia impor kedelai sebanyak 2.324.730,8 juta ton dengan nilai US$1.627.090,9.

BARISAN.CO – Tidak seperti kacang-kacangan lainnya, kacang kedelai memiliki protein lengkap. Kualitasnya bahkan sebanding dengan protein hewani, tetapi rendah lemak dan mengandung serat dan zat besi.

Makan 25g protein kedelai sehari dapat membantu menurunkan kadar kolesterol. Ini setara dengan segelas susu kedelai, panci yoghurt kedelai atau sajian tahu 80g.

Selain itu, kedelai dapat diolah untuk berbagai jenis makanan dan harganya lebih terjangkau ketimbang daging. Inilah yang membuat olahan kedelai seperti tempe dan tahu paling dicari. Namun begitu, meski kebutuhan tahunan kedelai sangat tinggi termasuk untuk pakan ternak, yang pada tahun 2022 mencapai 2,9 juta ton, Indonesia belum dapat memenuhinya.

Hingga tahun 2024, Kementerian Pertanian (Kementan) memproyeksikan luas panen kedelai nasional terus mengalami penurunan. Pada 2021, proyeksi luas panen kedelai sebesar 362.612 hektare, kemudian turun sebesar 5 persen pada 2022 menjadi 344.612 hektare. Dan, akan kembali turun 5,1 persen menjadi 326.861 hektare di tahun 2023 dan tahun 2024 akan kembali turun 5,2 persen menjadi 309.849 hektare.

Penurunan luas panen ini tentu akan berdampak langsung pada berkurangnya produksi kedelai, yang membuat pemerintah terus-menerus melakukan impor. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022, Indonesia impor kedelai sebanyak 2.324.730,8 juta ton dengan nilai US$1.627.090,9. Dari jumlah tersebut, sekitar 83 persennya berasal dari Amerika Serikat dengan total 1.928.076,9 juta ton dengan nilai US$1.367.336,6.

Penyebab Indonesia Masih Impor Kedelai

Mengutip Conversation, Prima Gandhi, peneliti Institut Pertanian Bogor menuturkan, produktivitas petani kedelai lokal rendah karena berbagai macam faktor, seperti luas lahan tanam kedelai terus berkurang akibat alih fungsi lahan dan biaya menanam yang lebih tinggi dibanding dengan harga jual yang membuat petani beralih menanam palawija.

Sedangkan, Kepala Riset Center for Indonesia Policy Studies (CIPS), Felippa Ann Amanta mengungkapkan, rendahnya produktivitas kedelai lokal juga dipengaruhi iklim di tanah air. Di sisi lain, jenis tanaman ini memerlukan kelembapan tanah yang cukup dan suhu relatif tinggi dalam mendapatkan pertumbuhan yang optimal.

Akan tetapi, curah hujan di Indonesia terbilang cukup tinggi yang pada musim hujan sering membaut tanah menjadi jenuh atau penuh air. Ditambah dengan sistem drainase yang buruk mengakibatkan tana kurang ideal untuk pertumbuhan kedelai.

Lahan yang cocok ditanami kedelai, kata Felippa harus memilik kadar keasaman yang netral dengan kedalaman minimal 20 sentimeter. Sementara, jenis lahan seperti inilah tidak tersedia di semua wilayah Indonesia.

Kesejahteraan Petani Tingkatkan Produktivitas

Sedangkan, Prof. Totok Agung Dwi Haryanto, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman menyayangkan, kebanyakan simposium hari ini tidak menyinggung kesejahteraan petani. Justru ungkap Prof. Totok kebanyakan tentang teknologi untuk meningkatkan produksi.

Padahal, Prof. Totok menyebut, ketika kesejahteraan petani naik, maka produktivitasnya ikut naik.

“Jepang maju karena petaninya sejahtera. Di Indonesia, subsidi pupuk dan bibit yang sejahtera pabrik, dan subsidi asuransi yang sejahtera perusahaan asuransi. Padahal seluruh konsep untuk memberi pangan yang bisa melakukannya itu petani,” kata Prof. Totok beberapa waktu lalu di Jakarta.