Data WIPO menunjukkan, Perjanjian Kerjasama Paten (PCT) Top Applicants tahun 2020 di Indonesia hanya dua, yakni satu dari Direktorat Penelitian Universitas Gadjah Mada dan satu dari PT Hartono Istana Teknologi.
BARISAN.CO – Sebuah video sempat membuat ramai Twitter. Dalam video tersebut, Muhammad Nur Rizal, lulusan sekaligus dosen dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan, Innovation Productivity dari lulusan 3 kampus besar termasuk UGM, ITB, dan UI cenderung nol.
Dia menyampaikan, IP-nya mungkin tinggi, tapi tidak berdampak pada produktivitas bagi masyarakat.
“Nggak ada paten, inovasi, teknologi, pemikiran yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Padahal kata Ki Hajar Dewantara, hakikat pendidikan itu menghasilkan pemikiran karya yang bermanfaat bagi orang banyak,” jelasnya.
Dia menuturkan, ini bisa membuat bangsa ini berlari atau jalan di tempat tidak karuan.
Dia menyimpulkan, sehingga kekayaannya dieksploitasi, dibuat ribut sana-sini, orang asing masuk ke bangsa ini mengeksplotasi kekayaan alam.
“Anak cucu njenengan hanya jadi buruh di negerinya sendiri. Dunia pendidikan, justru melanggengkan karena pendidikannya tidak menyadarkan orang secara kritis untuk sadar dirinya, sadar kekuatan dan kelemahannya, sadar dari persoalan-persoalan dirinya dan masyarakatnya,” lanjutnya.
Video yang diunggah oleh akun @arwidodo itu sejak 21 Oktober tersebut sudah dilihat lebih dari 547 ribu pengguna Twitter dan mendapatkan 7.000-an retweet serta 18k like.
Apa yang disampaikan oleh Muhammad Nur Rizal tidak salah. Menurut Data Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO), daftar paten peneliti Indonesia hanya satu per enam dari peneliti asing di tanah air.
Dikutip dari Detik, Direktur Inovasi Institut Teknologi Surabaya, Achmad Affandi dan Direktur Paten DTLST, Rahasia Dagang dan Paten, Dede Mia Yusanti menuturkan, ini terjadi karena kurangnya kolaborasi antara peneliti dengan industri yang mengerti kebutuhan pasar.
Dede mengungkapkan, paten dari asing lebih banyak karena memang mereka lebih banyak mengajukan permohonan. Dia menambahkan, pemahaman tentang paten juga masih kurang.
“Biasanya, peneliti kita jago dalam penelitiaannya, tapi ketika menuangkan invensinya itu nggak nyambung dengan klaimnya,” paparnya.
Dede menyebut, itu bisa membuat revisi berulang kali, yang menyebabkan jumlah paten dalam negeri agak lama.
Data WIPO menunjukkan, Perjanjian Kerjasama Paten (PCT) Top Applicants tahun 2020 di Indonesia hanya dua, yakni satu dari Direktorat Penelitian Universitas Gadjah Mada dan satu dari PT Hartono Istana Teknologi.
Sedangkan, Singapura, di tahun yang sama mendapatkan 632 PCT Top Applicants. Dari jumlah itu, 96 dari National University of Singapore dan 37 dari Nanyang Tecnological University.
Sementara, setiap tahun, kedua universitas di Singapura tersebut selalu menjadi pemohon teratas PCT. Ditambah, Agency for Science, Technology and Research, yaitu lembaga pemerintah SIngapura yang mendorong oenelitian berorientasi memajukan penemuan ilmiah dan inovasi teknologi ini di tahun 2020 juga mendapatkan 142 PCT Top Apllicants.
Apalagi jika dibandingkan dengan Korea Selatan, Indonesia sangat jauh tertinggal. Total PCT Top Applicants di sana sebanyak 8.448 di tahun 2020. Seoul National University (146), Hanyang University (124), dan Korea University (118) PCT Top Applicants. Sama dengan Singapura, ketiga universitas di Korsel tersebut selalu produktif soal paten.
Laporan WIPO menemukan, China, Amerika Serikat, Jepang, Republik Korea, dan Eropa menyumbang 85,1 persen dari total aktivitas pengajuan paten pada tahun 2020. China mengalami kenaikan 6,9 persen dan Republik Korea 3,6 persen.
Bukan hanya soal paten, Indonesia juga kurang berinovasi. Berdasarkan Indeks Inovasi Global 2022, Indonesia berada di urutan ke 75, Republik Korea keenam, dan Singapura ketujuh sebagai negara paling berinovasi di dunia.