Scroll untuk baca artikel
Blog

Indonesia Perlu Belajar dari Kerusuhan Brasil

Redaksi
×

Indonesia Perlu Belajar dari Kerusuhan Brasil

Sebarkan artikel ini

BRASIL dan Amerika Serikat adalah contoh nyata berbahayanya ‘kolaborasi’ pembelahan di masyarakat dengan media sosial. Dampaknya, chaos yang tidak sekadar berbahaya tetapi bisa laten bila tidak diselesaikan segera.

Penyerangan atau penyerbuan Gedung Kongres, Mahkamah Agung dan Istana Presiden Brasil, Minggu (8/1/2023), tidak hanya mengerikan tetapi merusak demokrasi yang sudah diakui bersama sebagai ikhtiar dalam sirkulasi kepemimpinan.

Ribuan pendukung petahana Presiden Jair Bolsonaro tak menerima kekalahan dalam pemilu dramatis tahun lalu yang memenangkan oposisi, Luiz Inacio Lula da Silva.

Kasus Amerika Serikat dan Brasil nyaris sama. Motif penyerbuannya juga hampir sama. Namun karena sistem politik Amerika Serikat sudah mapan penangananya menggunakan jalur yang benar.

Semua tersangka dalam kasus penyerangan ke Gedung Capitol diadili. Prosesnya memang panjang. Tapi semuanya harus diselesaikan di pengadilan yang fair. Bahkan kini sudah mengarah kepada Presiden Donald Trump.

Bukan tidak mungkin Trump akan menjadi seorang pesakitan dalam waktu dekat karena ada indikasi cuitannya di Twitter telah mendorong massa menyerbu DPR.

Karena itu yang akan menjadi fokus dalam tulisan ini peristiwa di Brasil. Brasil sama-sama negara berkembang seperti Indonesia dan demokrasinya belum semapan Amerika Serikat.

Kerusuhan di Brasil sudah banyak yang memprediksi bakal terjadi. Namun, serbuan massa sampai ke instalasi penting seperti Istana Presiden, mungkin tidak pernah dibayangkan sebelumnya termasuk oleh petugas keamanan.

Namun, Brasil seharusnya berkaca kepada Amerika Serikat. Apalagi pembelahan dan isu kampanye yang sangat panas dan memicu keretakan sosial di level masyarakat bawah.

Sepertinya petugas keamanan salah antisipasi. Mereka menganggap petahana akan menang dan kerusuhan dapat diantisipasi. Mereka justru fokus kepada massa oposisi.

Kenyataan di lapangan ternyata lain. Lula menang kendati selama ini oposisi terus dinihilkan dengan berbagai aturan pemilu, difitnah, media dikuasai pemerintah, sebelumnya dituduh korupsi dan divonis 12 tahun penjara dan juga dikeroyok influencer dan buzzer di media sosial.

Seperti peristiwa di Amerika Serikat, di Brasil juga ternyata peran media sosial dalam penyerbuan Istan Presiden dipengaruhi media sosial. Kendati, otoritas setempat sudah membuat regulasi dan pengelola media sosial telah mengontrol ketat terkait hoaks dan ujaran kebencian. Semuanya tidak mempan.

Seperti dikutip dari CNBC Indonesia, media sosial menjadi biang kerok kerusuhan di Brasil. Menjelang kerusuhan, dilaporkan ada lonjakan
seruan untuk menyerang fasilitas umum di berbagai kanal media sosial dari influencer dan buzzer dengan kode ‘Festa da Selma’.

Disebutkan, ‘Festa’ dalam bahasa Portugis artinya ‘pesta’. Sedangkan ‘Selma’ asal katanya ‘selva’ yang berarti seruan perang (war cry). Namun untuk menghindari algoritma media sosial hurup ‘v’ diganti ‘m’ sehingga lolos mesin sensor.

Tentu, kita tidak berharap kejadian yang menimpa di Brasil merembet ke Indonesia. Biaya dan ongkos politiknya akan sangat mahal dan sulit disembuhkan.

Namun, bibit perpecahan seperti di Brasil juga ada dan sangat kentara di Indonesia. Influencer dan buzzer masih terus memproduksi hoaks dan juga narasi pembelahan di masyarakat lewat media sosial.

Pemerintah dan tokoh masyarakat harus segera meredam itu semua. Segera tindak buzzer dan juga influencer yang terus menyebar narasi perpecahan.

Influencer dan buzzer tidak memiliki ideologi. Mereka hanya mencari keuntungan berupa materi. Bila petahana sudah tidak berkuasa mereka juga akan segera pindah untuk mencari sumber penghasilan baru. Dan bukan tidak mungkin suatu waktu malah menyerang balik.