Extended Producer Responbility (EPR) salah satunya mengatur produsen rokok harus bertanggung jawab terhadap produk atau pun kemasannya yang tidak bisa terurai secara alamiIr. Sri Bebbasari, M.Si. (Ketua Dewan Pembina Indonesia Solid Waste Association)
BARISAN.CO – Sampah puntung rokok telah menjadi masalah baru yang belum kunjung ada solusi. Sampah jenis ini bahkan mengancam ekosistem lingkungan.
Peneliti Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON) mengatakan, dua juta sampah puntung rokok ditemukan di daerah pesisir. Hal itu disampaikan oleh Eka Chlara Budiarti pada Webinar “Dampak Lingkungan Akibat Industri Tembakau Antara Solusi Palsu & Tanggung Jawab yang Seharusnya” yang diselenggarakan oleh Lentera Anak berkolaborasi dengan Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP), Ecoton, dan World Clean-up Day Indonesia.
“Jumlahnya lebih banyak dibandingkan sampah kantong plastik, tutup botol, dan sachet. Secara global, jumlah sampah puntung rokok sebanyak 845.000 ton dibuang setiap tahunnya. Diperkirakan pada tahun 2025, jumlah itu akan meningkat 50 persen,” kata Chlara pada Jumat (27/5/2022).
Chlara menambahkan, selain sampah puntung rokok, zat kimia yang tersisa di filter rokok mengandung senyawa berbahaya, yakni logam berat, tar, dan senyawa kimia lainnya.
“Diperkirakan 7.800 ton senyawa kimia itu akan mencemari lingkungan tiap tahunnya. Padahal, satu puntung rokok bisa mencemari 1.000 liter bahkan ada penelitian yang menggunakan puntung rokok yang berusia lima tahun ternyata masih mencemari lingkungan,” tambahnya.
Dia mengungkapkan kekhawatirannya, itu akan berpengaruh pada keseimbangan ekosistem dan puntung rokok itu juga memiliki permasalahan yang kompleks.
“Karena bukan hanya filter, mungkin sedikit abunya sebenarnya juga berpengaruh. Kemudian, sisa tembakau, serat mikro fibernya atau plastik yang dihasilkan, zat sisa dari senyawa itu juga akhirnya masuk ke lingkungan juga,” ungkap Chlara.
Menurut Chlara, dalam UU No. 18 Tahun 2008 sudah jelas bahwa industri tembakau harus bertanggung jawab daripada produk yang dihasilkan karena sampah kemasan dan puntung rokoknya tidak bisa terurai di alam.
Sulitnya Menegakkan Aturan
Dalam diskusi itu juga, selaku Ketua Dewan Pembina Indonesian Solid Waste Association (InSWA), Ir. Sri Bebassari, M.Si., menceritakan bahwa dia yang mendorong pemerintah untuk membuat UU tersebut.
“Saya berjuang 8 tahun lebih dari tahun 2000 hingga 2008, salah satunya pasal 15 tentang Extended Producer Responbility (EPR) di mana produsen itu harus bertanggung jawab terhadap produk atau pun kemasannya yang tidak bisa terurai secara alami karena sebelum ada UU dan pasal ini, stakeholder yang dikejar-kejar itu hanya pemerintah dan masyarakat. Sementara, produsennya justru belum tersentuh. Saya sempat dimusuhi oleh produsen karena sumber sampah itu dari produsen,” ujar Bebbasari.
Dia mengungkapkan, dalam setiap kesempatan rapat dengan pejabat, masih banyak orang yang merokok di ruang AC termasuk salah satu mantan Menteri Lingkungan Hidup juga melakukannya.
“Makanya, saya bilang ini gimana sih sekolah di luar negeri, tapi ga bisa baca No Smoking. Jadi, ini memang bukan hal yang mudah untuk pendidikan bagaimana supaya orang tidak merokok atau merokok dengan bertanggung jawab,” paparnya.
Bebbasari sepakat dengan peneliti Ecoton yang menyebut, rokok dan sampahnya pun berbahaya.
“Produsen itu harus bertanggung jawab untuk mengatur program pengelolaan sampahnya after consumer. Jadi, setelah pemakaian, pengelolaan sampahnya dari podusen dan mereka seharusnya membuat perencanaan sebelum produk itu dibuat,” ujarnya.
Perempuan berusia 73 tahun ini menjelaskan, bukan hanya Kementerian Kesehatan dan KLHK, yang berpartisipasi aktif, namun juga Kementerian Perindustrian serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai pihak pemberi izin produksi.