Scroll untuk baca artikel
Terkini

Industri Tembakau Mesti Jalankan EPR

Redaksi
×

Industri Tembakau Mesti Jalankan EPR

Sebarkan artikel ini

Dia mengungkapkan, dalam setiap kesempatan rapat dengan pejabat, masih banyak orang yang merokok di ruang AC termasuk salah satu mantan Menteri Lingkungan Hidup juga melakukannya.

“Makanya, saya bilang ini gimana sih sekolah di luar negeri, tapi ga bisa baca No Smoking. Jadi, ini memang bukan hal yang mudah untuk pendidikan bagaimana supaya orang tidak merokok atau merokok dengan bertanggung jawab,” paparnya.

Bebbasari sepakat dengan peneliti Ecoton yang menyebut, rokok dan sampahnya pun berbahaya.

“Produsen itu harus bertanggung jawab untuk mengatur program pengelolaan sampahnya after consumer. Jadi, setelah pemakaian, pengelolaan sampahnya dari podusen dan mereka seharusnya membuat perencanaan sebelum produk itu dibuat,” ujarnya.

Perempuan berusia 73 tahun ini menjelaskan, bukan hanya Kementerian Kesehatan dan KLHK, yang berpartisipasi aktif, namun juga Kementerian Perindustrian serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai pihak pemberi izin produksi.

Bebassari mencontohkan, industri sebelum menjalankan bisnis harusnya memiliki program pengelolaan sampah after consumer, mereka harus bisa menjamin produk yang dihasilkan tidak akan mencemari lingkungan.

Dia menyampaikan, UU No. 18 Pasal 15 Tahun 2008 telah diturunkan ke PP No. 81 2012 dan Peraturan Menteri LH No. 75 tahun 2019, tetapi tanpa peran dari Kemenperin dan BKPM itu tidak akan berdampak signifikan.

“Kemudian, Kementerian Perdagangan juga karena izin perdagangan dan peredaran produk itu dari sana. Ibarat narkoba, masyarakat itu cuma pemakai, nah siapa pabrik dan pengedarnya? Jadi, bukan hanya pemakai, tapi pabrik dan pengedarnya yang harus diingatkan,” tegasnya.

EPR Justru Menguntungkan Industri

Bebbasari menjelaskan, perbedaan antara CSR dan EPR. Baginya, CSR bisa saja hanya pencitraan, tapi EPR itu benar-benar tanggung jawab produsen sendiri seperti tertuang dalam UU.

Dia menegaskan, UU ini bukan bermaksud untuk membuat industri menjadi rugi, justru supaya semua bisnis menjadi green dan suistanable business.

“Kalau pemerintah mau buat peraturan contoh Korea dan Jepang, kalau saya melihat peraturannya sangat simpel. Contoh, saya mau beli hp, harganya satu juta, tapi si penjual bilang ke calon pembeli satu juta seratus ribu. Bukan hanyanya naik, yang 100 ribu itu untuk ongkos pengelolaan limbah kalau hapenya dibuang,” tuturnya.

Peraturan kedua, Bebbasari menjelaskan, toko gawai yang kelak akan menerima sampah elektronik itu.

“Kemudian, Kementerian Perdagangan buat peraturan semua toko hp harus menerima sampah hp karena nanti mereka yang bertanggung jawab kembalikan ke produsen. Jadi, konsumen punya tanggung jawab, begitu juga produsen,” jelasnya. [rif]