Yang ini akan membuat masyarakat tetap dapat menggerakkan usahanya walau pandemi, namun ini tidak akan terjadi, kata Ferry jika orang tidak belanja di warung.
Membiasakan belanja di warung, jelas Ferry akan berpengaruh pada usaha-usaha kecil yang lain, baik langsung maupun tidak langsung.
Karena faktanya, perekonomian Indonesia ini, 60,5 persen UMKM, jelasnya.
“Kalau UMKM sampai kolaps, dampaknya kena ke kita-kita semua,” ujar Ferry.
Kedua, habit yang dia ubah adalah soal kembalian. Dia tidak lagi mengambil kembalian uang belanjanya.
“Bukan karena gue ga menghargai duit, tapi gue ngerasa, misalnya duit seribu sampai lima ribu itu tetap berharga buat gue, buat orang lain bisa lebih berharga dan bermanfaat. Misalnya di warung, margin untungnya itu kan kecil banget untuk per item, kalau mereka mendapat 10 ribu tanpa harus menjual barang itu sesuatu yang bisa bermanfaat buat mereka,” terangnya.
Menurutnya, itu akan lebih efektif dan lebih tepat sasaran ketimbang memberikan uang kepada pengemis yang dalam usia produktif.
“Bukan karena gue kaya, tapi gue percaya Tuhan itu sudah ngatur semuanya. Lu ga akan pernah miskin karena memberi,” tegasnya.
Ferry mengaku, dia bukan seseorang yang taat agama, namun dia meyakini Tuhan telah mengatur segalanya.
“Gue percaya sama janji-Nya kalau memberi ga akan bikin kamu miskin. That’s why i do that,” ungkapnya.
Selanjutnya, dia juga selalu mengutamakan produk lokal mulai dari makanan dan minuman.
“Misalnya, gue beli makanan yang dihasilkan oleh produsen lokal atau UMKM kecil-kecilan dan biasanya enak. Minuman, misalnya kayak kopi, jujur gue penggemar Starbucks, tapi gue coba ubah dengan pilihan kopi lokal yang lain dan lama-lama terbiasa,” ujarnya.
Dia menerangkan, dengan begitu, selain menghemat uang, Ferry juga bisa memberikan sumbangsih atau manfaat bagi orang lain walau dari hal kecil. [dmr]