BARISAN.CO – Kaum muslim di Indonesia kembali kehilangan salah satu ulamanya. Prof. K.H Ali Yafie meninggal dunia pada Sabtu (25/2/ 2023) pukul 22:13 WIB di RS Premier Bintaro.
Mantan Rais Aam PBNU 1991-1992 itu meninggal dunia di usia 96 tahun. Jenazah Ali Yafie akan dibawa ke rumah duka di Sektor 7 Bintaro Jaya.
Ali Yafie meninggal dunia di usia 96 tahun. Ia meninggalkan empat orang anak. Sebelum meninggal, Ali sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Premiere Bintaro, Tangerang Selatan, Banten.
Sejak awal Februari lalu, Kiai Ali Yafie sudah dikabarkan dirawat di rumah sakit karena ada masalah di paru-paru dan jantung.
Sejumlah tokoh sempat menjenguk saat Kiai Ali Yafie sakit, termasuk Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin.
“Beliau adalah senior saya, baik semasa saya di Nahdlatul Ulama sejak beliau menjadi Rais Aam saya ketika itu menjadi Katib Aam-nya. Kemudian Rais Aam diteruskan oleh Kiai Sahal Mahfudz dan saya melanjutkan, kemudian beliau maju di Majelis Ulama (Indonesia) sebagai ketua umum, dan saya masih berada di belakangnya ketua Majelis Ulama (Indonesia),” ucap Ma’ruf Kamis (16/2/2023).
Biografi Ali Yafie
Kiai Ali Yafie lahir di Donggala, Sulawesi Tengah, pada 1 September 1926. Ali Yafie adalah anak kelima dari sembilan bersaudara.
Sejak berusia 5 tahun, Ali Yafie belajar kitab kuning peninggalan kakeknya di bawah bimbingan ayahnya Mohammad Yafie. Sang Kakek adalah Syekh Abdul Hafidz al-Bugisi, salah seorang ulama besar Melayu-Nusantara yang menjadi guru besar di ‘Masjidilharam.
Ketika berusia 12 tahun, Ali Yafie sudah mahir membaca kitab kuning. Untuk memperdalam ilmu fikih, Ali Yafie kemudian menjadi santri pada beberapa ulama terkemuka di Sulawesi, antara lain Syekh Ali Mathar, Syekh Haji Ibrahim, dan Syekh Mahmud Abdul Jawad.
Ali Yafie memulai kiprah sosial, politik, dan keagamaan dengan bergabung pada organisasi Nahdlatul Ulama (NU) cabang Parepare.
Baginya, NU tidak saja merupakan wadah bagi pengabdian sosial-keagamaan, tetapi juga menjadi panggilan nuraninya.
Atas dedikasinya di NU, pada 1953-1958 ia dipercaya menjadi anggota DPRD Tingkat II Kabupaten Parepare pada usia relatif muda (27 tahun). Sebagaimana ayahnya, sejak saat itu Ali Yafie aktif di panggung politik.
Pada tahun 1966-1972 Yafie terpilih menjadi dekan. Fakultas Ushuluddin IAIN Makassar. Di Makassar, Ali Yafie tidak meninggalkan dunia politik.
Pada 1960-an ia kembali dipilih menjadi anggota DPR-GR Tingkat I Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara (sekarang Sulawesi Selatan) mewakili NU.
Pada 1971 karier politiknya terus menanjak dan ia terpilih menjadi anggota DPR RI yang mewakili NU; dan sejak saat itulah ia tinggal di Jakarta.
Ketika pemerintah Orde Baru pada 1973 mengeluarkan kebijakan tentang penyederhanaan partai politik, Partai NU-antara lain bersama ‘Sarekat Islam (SI), *Perti, dan Muslimin Indonesia (MI)- melakukan fusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Pada 1974 Ali Yafie memutuskan bergabung ke dalam partai politik hasil fusi ini dan duduk sebagai Rais Majelis Syura PPP.
NU yang keluar dari PPP ketika muktamar NU di Situbondo (1983) memutuskan bahwa NU kembali ke Khitah 1926. Meskipun demikian, Ali Yafie tetap aktif menjadi anggota DPR/MPR RI hingga ia benar- benar mengundurkan diri dari aktivitas politiknya (1987).
Beberapa tahun sebelum melepas aktivitas politiknya, Ali Yafie aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan menjadi pengurusnya sejak 1985.
Ali Yafie kemudian dipercaya menjadi salah satu ketua MUI pada 1990-1995. Dengan wafatnya ketua umum MUI (KH *Hasan Basri), melalui rapat paripurna MUI pada 11 Februari 1999, A. Malik Fadjar (menteri Agama) selaku ketua Dewan Pertimbangan MUI mengangkat Ali Yafie menjadi ketua umum MUI sampai musyawarah kerja nasional MUI pada Juli 2000.