“Anak-anak kecil mengobrak-abrik sampah untuk mencari sisa makanan. Berjuang untuk menyediakan makanan di atas meja berarti banyak keluarga beralih ke cara-cara ekstrem untuk mengatasinya.” Moutaz Adham (Direktur Oxfam di Suriah)
BARISAN.CO – Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet, pada September tahun lalu mengungkapkan, sejak Maret 2011 hingga Maret 2021, jumlah korban tewas akibat konflik di Suriah sebanyak 350.209 jiwa. Dari jumlah itu, 26.727 adalah perempuan dan 27.126 masih anak-anak.
Awal mulanya, konflik itu terjadi sejak 15 Maret 2021, para pengunjuk rasa terinspirasi oleh pemberontakan Musim Semi Arab yang sukses di Tunisia, Mesir, dan Libya. Mereka berkumpul di Suriah untuk menyerukan turunnya rezim represif di sana. Tak seperti pemerintahan sebelumnya, Presiden Suriah Bashar Assad tidak akan diam menghadapi pemberontakan rakyat seperti itu.
Beberapa hari setelah protes awal terjadi, tentara Suriah menembaki demonstran dan menewaskan puluhan orang. Konflik itu menarik negara-negara lain ke dalam perang proksi yang kompleks termasuk salah satunya Rusia.
Sejak 1950-an, Uni Soviet dan kemudian Rusia telah menjadi sekutu setia bagi Suriah untuk memasok tentaranya dengan senjata buatan Rusia terbaru. Pertengahan 2000-an, hubungan Presiden Vladimir Putin dan Assad semakin kuat.
Direktur Program Keamanan Berkelanjutan dari Oxford Research Group, Richard Reeve, pada tahun 2017 dalam wawancaranya dengan BBC mengatakan, Putin mulai berpikir mengembangkan kekuatan yang lebih besar bagi negaranya. Putin pun melihat AS sebagai saingan abadi.
Kondisi Pangan di Suriah
Kini, setelah 11 tahun setelah konflik terjadi di Suriah, enam dari sepuluh warga Suriah tidak tahu dari mana makanannya akan berasal. Mengutip Oxfam, ketergantungan Suriah pada impor dari Rusia dapat memperburuk kekurangan pangan dan menyebabkan lonjakan harga pangan di sana.
Tahun lalu, setidaknya harga pangan di Suriah naik dua kali lipat. Pemerintah Suriah di tahun 2021 melaporkan harus mengimpor 1,5 juta ton gandum, terutama dari Rusia.
Oxfam menanyakan kepada 300 warga Suriah di sana. Hampir 90 persennya menyampaikan, mereka hanya mampu makan roti, nasi, dan terkadang beberapa sayuran.
Konflik, gelombang pandemi, dan krisis perbankan Lebanon ditambah krisis Ukraina memiliki dampak serius bagi ekonomi, mengganggu impor makanan, dan bahan bakar serta menyebabkan mata uang pound Suriah anjlok dengan drastis.
Menurut Direktur Oxfam di Suriah, Moutaz Adham, orang-orang di sana telah didorong ke tepi jurang akibat ekonomi yang runtuh. Dia menyebut, di sekitar Damaskus, orang-orang mengantre berjam-jam demi mendapatkan roti bersubsidi di toko roti milik negara.
“Anak-anak kecil mengobrak-abrik sampah untuk mencari sisa makanan. Berjuang untuk menyediakan makanan di atas meja berarti banyak keluarga beralih ke cara-cara ekstrem untuk mengatasinya,” kata Moutaz pada Selasa (15/3/2022).
Cara-cara ekstrem yang dimaksudkan Moutaz, antara lain berhutang untuk membeli makanan, membawa anak-anak keluar dari sekolah agar bekerja, serta mengurangi porsi makanan setiap harinya. Selain itu, menikahi anak perempuan yang masih kecil telah menjadi strategi koping negatif dalam upaya mengurangi makan satu orang di keluarganya.
“Ini bertentangan dengan latar belakang 90 persen warga Suriah yang hidup dalam kemiskinan, tingkat pengangguran 60 persen, dan upah minimum bulanan di sektor publik sekitar US$26,” tambahnya.
Kebergantungan ke Rusia
Moutaz melanjutkan, Suriah amat bergantung pada Rusia untuk impor gandum. Krisis di Ukrainan, disebut-sebut sebagai pemicu pemerintah Suriah mulai menjatah cadangan makanan. Termasuk gandum, gula, minyak, dan beras di tengah kekhawatiran kekurangan dan lonjakan harga.
“Dan, ini bisa jadi baru permulaan,” lanjut Moutaz.
Dia mengungkapkan, penghasilan rata-rata di Suriah hanya mampu menutupi setengah dari pengeluaran pokok.