Sementara di lingkungan KPU, berdasarkan informasi hingga Rabu (4/8/2022), terdapat 98 orang. Dengan rincian empat orang personalia Sekretariat KPU Provinsi (unsur Pegawai Pemerintah non-Pegawai Negeri/PPNPN). Lalu 22 orang Komisioner KPU Kabupaten/Kota, dan 72 orang personalia Sekretariat KPU Kabupaten/Kota (diantaranya terdapat 80 persen berasal dari PPNPN).
Kasus tidak mengenakkan tersebut bukan hanya dialami oleh Penyelenggara Pemilu, melainkan juga terjadi di kalangan warga. Mereka yang namanya dicatut kemudian mengadu ke Posko Pengaduan Bawaslu Provinsi/Kabupaten/Kota. Diantaranya: di DKI 20 warga, di Kabupaten Probolinggo sebanyak 3 warga, di Kabupaten Maros sebanyak 5 warga, di Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 45 warga, di Kota Batam sebanyak 4 warga, dan lain-lain.
Sebagian korban pencatutan setelah mengetahui namanya dicatut lalu mengadu ke Posko Pengaduan Bawaslu. Begitupun diperkirakan lebih banyak lagi korban pencatutan yang tidak mengadukan ke Penyelenggara Pemilu dengan berbagai asalan. Penyebabnya antara lain karena tidak mengetahui namanya dicatut oleh Parpol; tidak mengetahui mekanisme atau cara melakukan pengaduan; menganggap mengadukan kasus semacam ini tidak ada gunannya atau bahkan aib; bakal merepotkan diri sendiri dan sebagainya. Selain juga dipicu oleh faktor kurangnya sosialisasi, edukasi dan literasi seputar isu pencatutan e-KTP dalam proses pendaftaran calon peserta Pemilu.
Pastinya, kasus pencatutan yang terjadi dan menyasar berbagai instansi/institusi maupun individu, bagaikan gunung es. Di permukaan, ada yang diberitakan di media atau dilaporkan ke KPU atau Bawaslu. Namun di bawah permukaan, terlebih pada daerah yang akses informasinya terbatas dan demografinya sangat luas dan sulit terjangkau transportasi, sulit atau jarang dilaporkan. Masyarakat yang berada di kawasan yang terbatas akses informasi serta transportasi, merupakan lahan potensial atau sasaran empuk untuk dicatut oleh oknum Pengurus Parpol atau makaler e-KTP.
Dari Aktor Hingga Modus
Pencatutan e-KTP tidak berdiri sendiri. Sekurangnya ada dua aktor yang terlibat di dalamnya. Yakni: pencatut dan korban pencatutan. Pelaku pencatutan, bisa berasal dari pengurus Parpol yang ditunjuk untuk melakukan pengumpulan e-KTP untuk kepentingan keanggotaan Parpol. Bisa juga dengan cara Parpol menunjuk makelar atau calo e-KTP di luar unsur Parpol. Tetapi yang sering terjadi adalah pemufakatan jahat karena saling membutuhkan dan menguntungkan kedua belah pihak.
Secara teknis, praktik pencatutan e-KTP bisa ditempuh secara langsung (man to man) menghubungi dan mencari calon korban yang e-KTP-nya akan dicatut. Namun bisa juga dilakukan secara kolektif yang dikordinasikan oleh calo/makelar. Yang jelas, bagi makelar e-KTP, aktivitas ini merupakan komoditas dan sekaligus peluang bisnis lima tahunan sekali yang cukup menjanjikan dan menggiurkan serta menguntungkan secara ekonomi.