Scroll untuk baca artikel
Blog

Ironi, Petani Beli Beras

Redaksi
×

Ironi, Petani Beli Beras

Sebarkan artikel ini

SELAMA tiga hari saya pulang kampung di Priangan Timur. Di rumah seperti biasa banyak tetangga, sambil ngopi dan juga ada yang udut rokok kretek. Banyak hal yang dibicarakan.

Saya memang duduk agak menjauh dari lingkaran di tepas rumah. Bukan apa-apa karena saya tak kuat menghirup asap rokok. Sesak.

Isu yang dibahas sangat beragam termasuk politik tingkat tinggi di Jakarta. Kasak-kusuk elite. Sampai masalah kecil di kampung seperti soal masalah anak apakah tahun ajaran baru nanti pilih masuk SMK atau SMA.

Kalau SMK diharapkan anaknya langsung kerja. Pakai seragam Indomaret atau Alfamart mereka sudah senang. Namun duit praktiknya lumayan banyak.

Sementara kalau ke SMA sekolahnya bisa hemat lantaran tak ada biaya praktik. Paling sumbangan buat musala sekolah yang tengah dibangun. Itu pun seikhlasnya. Tapi harus lanjut kuliah. Biaya darimana?

Namun yang membuat saya kaget. Keluhan mereka tentang sawah mereka yang tidak bisa digarap. Keluhan datang dari tetangga yang sawahnya ratusan bata (satu bata setara 14 meter persegi). Atau yang sawahnya hektare-an.

Dulu, orang yang punya lahan luas termasuk sawah dikenal sebagai orang tajir di kampung. Zaman sekarang sebaliknya, mereka masuk golongan orang kere alias hidup susah.

Kok bisa? Saya hanya bisa menyimak. Mereka punya hitungan sendiri yang sangat detail. Sekarang ini menurut mereka pupuk subsidi langka. Kalaupun ada mahal dan rebutan.

Sawah mereka rata-rata terasering. Tanpa irigasi dan hanya bersumber dari selokan atau mata air.

Karena terasering mereka hanya mengandalkan bajak kerbau. Selain lama juga mahal. Tukang cangkul juga mahal. Belum lagi tukang tandur dan panen. Juga mahal. Intinya, menanam padi itu rugi!

Saya belakangan baru tahu, kondisi tersebut sudah dirasakan sejak 10 tahun lalu.

Sawah banyak yang terbengkalai. Banyak juga yang beralih fungsi menjadi kolam ikan.

Akibatnya, kini orang kaya di kampung beli beras!

Kondisi ini tentu tidak bisa dibiarkan terus. Dinas pertanian di daerah harus segera bergerak. Aktifkan lagi penyuluh pertanian.

Pemerintah pusat pun harus memiliki kebijakan yang propetani. Kondisi ini jangan dibiarkan berlarut karena hanya akan menyenangkan importir beras.

Penyuluh pertanian yang terdidik harus segera diturunkan ke daerah-daerah. Bila menanam padi sangat berat, petani bisa dialihkan untuk menanam jagung atau sorgum.

Dua jenis tanaman pangan ini sangat familiar dengan sawah kering bahkan untuk sorgum ditanam dimana pun tumbuh. Ekstrimnya di tanah berbatu juga masih bisa hidup. Karena sorgum tidak hanya diambil bulirnya tetapi juga batang dan daunnya seperti untuk nira, bioetanol dan pakan ternak. Tergantung jenisnya.

Petani di daerah juga harus diubah mindset-nya agar tidak tergantung pada pupuk kimia. Masyarakat harus dilatih untuk membuat pupuk sendiri dari bahan alam di sekelilingnya yang ramah lingkungan.

Petani hanya butuh bukti dia tidak bisa dengan teori. Apalagi disuruh belajar dari YouTube.

Saya pun pamit sebentar ke tetangga yang lagi ngobrol karena ada telepon dari Jakarta. Saya memanjat taraje (tangga dari bambu) untuk mendapat ketinggian tertentu di samping rumah hanya untuk mendapatkan sinyal Telkomsel alakadarnya.

Sue! Kata orang Betawi. [rif]