Scroll untuk baca artikel
Blog

Isra Mi’raj Memotivasi Kita Menjadi Pembelajar

Redaksi
×

Isra Mi’raj Memotivasi Kita Menjadi Pembelajar

Sebarkan artikel ini

Sedangkan  panjang  gelombang  (lambda)  menjadi  sangat panjang, batasnya  tak terhingga. Jika  dirujuk  kepada  teori  Satyendra  Nath  Bose,  seorang  fisikawan  India  dan  Albert Einstein,  ‘Kondensasi  Bose  –  Einstein’,  yang  kemudian  diuji  kembali  oleh  tim  National Institutes  of  Standard  and  Technology  universitas  Colorado. Maka  pertanyaan  rumit  yang terjadi  1400  tahun  yang  lalu  itu  dapat  dijawab  secara  ilmiah,  karena  “penampakan”  nabi  yang  berada  di  mana-mana  menjadi  alami. 

Penjelasan  fisikanya,  jika  Nabi  “didinginkan” atau  energinya  dikosongkan  (nol),  maka  panjang  gelombangnya  menjadi  hampir  dekat, sehingga  bisa  muncul  di  manapun  dalam  ruang-waktu,  dalam  ‘super  ego’  dan  bukan pecahan.  Baik  di  kamarnya,  di  gurun  bersama  karavan  unta,  di  masjid  Aqsa  bersama Jibril,  di  alam  semesta  ini,  bahkan  sampai  ke  ‘Sidratul  Muntaha’,  batas  terakhir  perjalanan manusia.

Berdasarkan  teori  Kondensasi  Bose-Einstein,  keadaan  nabi  Muhammad  saat  itu  adalah berada  dalam  dimensi  kesadaran  yang  lebih  “primer”  energinya  (E  =  energi pemberontakan  /  ego)  nol,  artinya  penyerahan  total  atas  kemauannya,  sehingga  getaran kesadaran  bergetar  dengan  cepat  menuju  ketidakterbatasan  dan  kelembutan. 

Dalam kondisi  ini  secara  otomatis  atom-atom  benda  pada  dimensi  fisik  sekunder  akan  diam mutlak  dan  berada  dalam  kondisi  Kondesat  Bose  Einstein.  Mari  kita  bayangkan  kondisi dan  posisi  super-eksistensi  ini,  bahwa  seseorang  yang  tubuhnya  berdiam  dalam  konteks “wilayah”  (dalam  dimensi  atau  materi  positif),  tetapi  dalam  konteks  “wawasan”  kesadaran melonjak  ke  alam  spiritual  (  jauh  melebihi  kecepatan  cahaya  dalam  dimensi  kesadaran/hyperspace). Seperti orang yang sedang bermeditasi, dzikir, kontemplasi, atau meditasi.  

Perbedaan  mutlak  adalah  faktor  pemrakarsa,  apakah  keinginan  dibatasi  oleh  hukum kausalitas,  dan  keinginannya  yang  tidak  terbatas.  Nabi  Muhammad  SAW  di  masa  Isra Mi’raj  dapat  menjadi  contoh  bagaimana  kondisi  super-eksistensi  tercapai.  Pada  saat  itu bahkan  apa  yang  disebut  sebagai  keberadaan  materi  menjadi  tidak  relevan.  Karena wujud  yang  ada  adalah  “wujud  super”,  yang  dapat  bergerak  melampaui  hukum  kausalitas umum  (hukum  adat).

Berdasarkan  teori  relativitas,  bahwa  ruang  sama  dengan  waktu,  disebut  ruangwaktu,  bukan  ruang  dan waktu  sebagai  dua  entitas  yang  terpisah. Rasulullah  adalah  orang pertama,  yang  dengan  izin  dan  kekuasaan Allah SWT,  seperti  dalam  redaksi  ayat  kesatu  surat  al Isra  tersebut,  “asraa  bi’abdihi”,   mengikuti  “kehendak”  Allah  SWT  yang  di  luar  hukum  alam manusia,  atau  di  luar  kausalitas  alam  kehambaan  (manusia/Muhammad).  Dan  itu  sudah disebutkan  dengan  redaksi  “Maha  Suci”  itu  kalimat  ‘tanziih’,  atau  kalimat  yang membebaskan ZatNya sebagai di luar batas jangkauan makhluq.