PERNYATAAN mantan anggota DPR yang dikenal sebagai pentolan ‘Koboy Senayan’ Alvin Lie di sebuah media daring membuat saya terenyak. Kaget. Saya juga baru sadar kok tidak ada dari sekian pemikir dan cerdik pandai juga munsyi di negeri ini yang peduli dengan bahasa.
Jakarta International Stadium (JIS), bukankah itu bahasa Inggris? Padahal bisa saja disebut
Stadion Internasional Jakarta atau Stadion Antarbangsa Jakarta.
Dalam pernyataannya, Alvin Lie menyebutkan undang-undang dan juga perpres yang mengatur tentang penggunaan bahasa Indonesia di antaranya untuk penamaan gedung atau bangunan milik negara. JIS jelas bangunan milik negara karena menggunakan APBD dan APBN yang bersumber dari pajak rakyat.
Dari sejumlah tulisan dan makalah ilmiah disebutkan kebiasaan bangsa Indonesia menggunakan bahasa asing sebenarnya diwariskan dari feodalisme kerajaan dan inferioritas sebagai inlander yang tertanam dan diwariskan sejak zaman kolonial.
Wujudnya selalu merasa rendah diri, tidak percaya diri, menjilat dan gila hormat, merasa hamba sahaya, malas berargumen serta bangga menggunakan barang, merek dan bahasa asing. Penyakit ini tidak hanya menjangkiti rakyat jelata tetapi juga para elite negeri ini.
“Undang-undang itu kan harus menjadi rujukan kita, terutama yang menyangkut pelayanan publik ruang publik, administrasi pemerintahan apalagi stadion, bandara, dan tempat lainnya. Itu kan dibangun menggunakan APBN, APBD yang merupakan aset negara maupun aset daerah,” kata Alvin Lie seperti dikutip detik.com.
Pernyataan Alvin Lie tersebut merujuk pada UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Dalam Pasal 36 Ayat 3 ditulis, “Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.”
Kewajiban penggunaan bahasa Indonesia juga diatur dalam Perpres No. 63 Tahun 2019 yang diteken Presiden Jokowi. Dalam Pasal 33 Ayat 1 ditulis, “Bahasa Indonesia wajib digunakan pada nama bangunan atau gedung, apartemen atau permukiman, perkantoran, dan kompleks perdagangan yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.”
Kewajiban ini tidak hanya berlaku bagi bangunan milik pemerintah tetapi bangunan milik perusahaan partikekir.
Merujuk pada usulan Alvin Lie, saya pikir Gubernur Anies Baswedan bisa mempertimbangkannya untuk memberikan nama pengganti dalam bahasa Indonesia kepada JIS sebelum diresmikan tanpa harus melanggar peraturan. Alvin Lie misalnya mengusulkan jalan tengah dengan tetap bisa menggunakan Jakarta International Stadium tetapi ditulis di bawah nama Stadion Internasional Jakarta. Dengan penulisan itu makna dan magnet internasionalnya tidak hilang.
Anies juga diharapkan dapat menertibkan dan menyosialisasikan penggunaan bahasa Indonesia untuk penamaan fasilitas publik di jajaran Pemprov DKI Jakarta. Misalnya bisa dimulai dari penamaan bahasa Indonesia untuk Tebet Eco Park dan taman lainnya.
Setelah di lingkungan DKI tertib, sosialisasi kemudian dilanjutkan ke fasilitas dan bangunan milik swasta. Pemprov harus memberi contoh dan nanti pelan-pelan swasta ikut sendiri. Mal Cibubur Junction yang seharusnya Perempatan Cibubur misalnya atau bisa diubah menjadi nama lain.
Pun, untuk nama Riverside Apartment Pluit mungkin bisa disertakan di atasnya nama Apartemen Pluit Pinggir Kali. Atau kalau kurang keren bisa diganti nama lain.